agumJAKARTASATU.com  – Ketua umum DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri), Agum Gumelar, meminta calon presiden-calon wakil presiden dan pendukungnya dalam pemilihan presiden 9 Juli 2014 tidak saling hujat, dan menghina-dina.

Bangsa ini, ucapnya, tak akan pernah besar kalau antar elemen bangsanya selalu saling menghujat.

Proses politik, terutama kontestasi pemenangan pilpres, katanya, bisa dilalui secara tertib, aman, damai, dan saling menghormati satu sama lain. Bila seperti itu, Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar dunia di masa mendatang.

“Kontestasi Capres-Cawapres itu harus diniati untuk mengabdi pada bangsa dan negara, maka kobarkan dan kembangkan pemikiran yang mencerahkan dan mencerdaskan rakyat tanpa mencaci-maki dan saling hujat-menghujat. Jadi, PEPABRI berharap pada pasangan capres bukan sebagai lawan yang harus dihancurkan,” tandas Agum Gumelar pada diskusi ‘Pengaman kampanye Capres-cawapres’ bersama politisi Gerindra Martin Hutabarat di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (20/5).

Agum mengatakan, pasangan capres dan pendukungnya harus menghormati yang menang dan merangkul yang kalah. Jangan sampai, ujarnya, capres lain dianggap sebagai lawan dan musuh yang harus dihancurkan.

“Baik Jokowi maupun Prabowo, dan para pendukungnya harus saling bersikap dewasa dalam berdemokrasi agar suasana tidak memanas,” ujarnya.

Menyinggung peran intelejen dalam pilpres, Agum mengatakan, tugas mereka menghimpun dan mengolah informasi untuk kemudian mengambil kesimpulan untuk suatu tindakan pencegahan terjadinya kisruh politik di pilpres 2014.

“Demi keamanan bangsa, maka intelijen berpikirnya harus mendukung pencegahan. Jangan sampai terjadi kerusuhan lalu panik, lalu sibuk mengusut,” ucapnya.

Soal sikap PEPABRI sendiri, kata Agum, sebagai satu institusi sikap politiknya sama dengan induknya untuk mengawal demokrasi. Kalau induknya, yakni TNI/Polri adalah netral, maka PEPABRI juga netral dalam Pilpres.

“Tapi, sebagai purnawirawan, mereka mempunyai hak sama dengan sipil dalam politik sesuai keyakinan hati nurani masing-masing,” pungkasnya.

Sementara itu Martin mengibaratkan Indonesia yang besar seperti Uni Soviet, yang ternyata akibat presidennya lemah, maka negara super power itu hancur, terpecah-belah, dan memisahkan diri dari Soviet. Demikian pula, Indonesia, kalau dipimpin oleh orang yang lemah, maka NKRI terancam.

“Bahwa NKRI ini butuh presiden yang kuat dan PEPABRI tidak rela dipimpin orang yang lemah. Sebab, hanya dengan itu NKRI bisa dipertahankan,” kata Martin. (JKS)