by M Rizal Fadillah

by M Rizal Fadillah

Omnibus Law sebagai terobosan hukum dari Pemerintahan Jokowi tujuannya adalah mempermudah investasi. Artinya ini adalah undang undang yang transaksional dan pragmatik. Penyederhanaan dari puluhan UU model ini perlu dicermati bahkan diwaspadai. Namanya cukup menarik RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan, dan RUU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Di samping tujuan bernuansa bisnis atau investasi ternyata sangat terasa adanya “smuggling” atau penyelundupan klausul yang bermissi “ideologis”. MUI berteriak karena omnibus law menyempet bahkan diduga menggilas sertifikasi halal.

Meski pembelaan yang dikemukakan adalah “untuk memperkuat” tetapi prakteknya belum tentu demikian. Ingat saat revisi UU KPK dahulu Pemerintah bersikeras merevisi itu dengah dalih untuk “memperkuat KPK” tetapi nyatanya setelah direvisi nyaris KPK mandul atau bisa dibilang mati.

Omnibus law dapat pula berargumen dalam rangka “memperkuat” dan “menyederhanakan” tetapi “kuat” dan “sederhana” dipandang dari kacamata keuntungan pemerintah atau pengusaha bukan rakyat.
Sebagaimana saat pembahasan revisi UU KPK maka kini pun lembaga DPR RI dipastikan tidak akan berdaya. Lolos dengan mudah.

Ada kesan pembahasan RUU tidak terbuka sehingga masyarakat tahu setelah pihak terdampak menjerit seperti Gubernur yang bisa dipecat Mendagri, MUI yang ribut soal sertifikat halal, dan buruh yang berdemo soal kerugian akibat omnibus law.

Jika tidak matang maka UU yang dihasilkan pasti tidak akan memuaskan publik dan disana sini akan nampak kelemahan. Kebaikan aspek filosofis, yuridis, dan sôsiologis dari pengaturan tidak akan tercapai. Ini artinya begitu diundangkan maka UU baru hasil omnibus law ini akan segera dilakukan Judicial Review.
Aturan yang berlandaskan pada kepentingan lazimnya mudah goyah.

Satu hal yang penting adalah jika faktor penghambat investasi justru pada sosok Presiden. Siapa tahu ada sejumlah Investor strategis berkeberatan dengan kualitas atau model sang Presiden, maka “omnibus law” juga harus mampu memberi solusi. Tata cara pemakzulan Presiden juga harus disederhanakan. Jangan berbelit belit seperti sekarang ini.
Buat mudah agar investasi membanjir ke negeri ini.

Akan tetapi bagaimana mungkin investasi meningkat secara signifikan jika kepercayaan publik dan investor pada Presiden itu rendah. Inilah makna Tap MPR No. 6 tahun 2001 yang intinya jika Presiden atau siapapun dari penyelenggara negara yang sudah tidak dipercaya, maka ia harus siap mundur dari kursi jabatannya. Demi rakyat, bangsa, dan negara.

*) Pemerhati Politik

Bandung, 25 Januari 2020