Muhammad Arif Kirdiat bersama Jaro dan Mang Ardi/ FB

OLEH Muhammad Arif Kirdiat

Baduy… Saya lebih suka memanggilnya Urang Kanekes. Alhamdulillah 23 Tahun sejak saya pertama masuk ke Cibeo hingga saat ini, hampir semua pintu masuk ke Baduy saya pernah lintasi.

Saya senyum-senyum saat kemarin membaca artikel adanya penolakan Baduy Menolak daerahnya menjadi destinasi wisata…. ya sejak dulu warga Baduy menolak disebut sebagai obyek wisata. Warga Baduy memiliki prinsip lebih baik mengalah daripada membuat masalah.

Semua warga Baduy sepakat jika mereka bukan obyek wisata tapi mereka percaya jika mereka adalah salah satu suku yang masih kuat memegang adat dan budaya…. ya adat dan budaya.

Tidak ada cerita warga Baduy yang menolak tamu jika bukan waktu terlarang. Jikapun ada tamu yang mendesak ingin masuk ke Baduy Dalam saat bulan larangan, bisa juga masuk dengan berbagai persyaratan.

Tujuan datang ke Baduy memang harus diluruskan untuk belajar dan silaturahiim bukan untuk leha-leha tanpa makna.

Saat ini yang terjadi adalah banyak tamu yang sudah merasa sangat akrab bahkan tidak mengisi buku tamu dan lapor ke jaro, sekarang sudah disiapkan pos pendaftaran… eh masih banyak yg slonong boy aja masuk. Pagi tadi saya telepon ke Saidam Baduy yang masih keluarga Jaro Saija yang rumahnya berada di belakang rumah jaro.

Ia kesal dengan penulisan artikel kemarin yang slonong boy tanpa konfirmasi ke Jaro Saija dan perangkat desa lainnya dan katanya acara pembuatan surat yang katanya mau diserahkan ke Pak Jokowi bukan dibuat di rumah Jaro sebagai tempat resmi sebagai representasi para tangtu.

Saya kenal baik dengan Ayah Mursyid yang merupakan “Menteri Luar Negeri” Baduy Dalam yang kerap mewakili Baduy dalam acara kenegaraan. Beberapa kali saya menginap di rumah beliau.

Artikel kemarin kalau kata Saidam merupakan acara diluar keputusan adat bersama. Karena banyak ketua adat yang tidak ikut serta tidak diinfo.

Saidam adalah salah satu tokoh pemuda yang saat ini giat melaksanakan sosialisasi anti sampah plastik di Kawasan Baduy. Ada pula Kang Udil Baduy sahabat saya yang aktif mengembangkan alat musik bambu khas Baduy.

Ratusan warga Baduy yang paham berita dan bisa membaca tentu kaget dengan isi berita kemarin.

Sebab kata mereka, kalau Orang Baduy mau komplain sudah ada jalurnya melalui Seba dan sistematisasi keluhan mulai dari Desa, Camat, Bupati, Gubernur barulah ke Presiden.

Urang Kanekes ini adalah mereka yang kalau bilang A adalah A dan B adalah B. Mereka menolak dana desa yang nilainya milyaran karena menghindari jebakan hukum yang tidak mau mereka jalani.

Mereka juga menolak bantuan BLT Covid-19 jika hanya diberikan untuk sedikit warga Baduy. Karena alasan mereka, daripada jadi iri dan fitnah, lebih baik ditolak saja.

Oh iya, salam katanya buat yang bikin surat ke Pak Jokowi kemarin. Ditunggu di Kantor Desa Kanekes dan para ketua adat Baduy Dalam juga menanyakan apa dasar surat diajukan ke Pak Presiden tanpa mengajak bicara warga Baduy Dalam..?

Permasalahan di Baduy saat ini adalah masalah lahan yang semakin sempit, kebutuhan air bersih, pangsa pasar hasil tenun dan madu para pengrajin Baduy… dan banyak lainnya.

Silahkan datang ke Balai Desa Kanekes ya. Mereka resah dengan berita yang dibuat booming tanpa musyawarah penuh para ketua adat.

Kalau kata orang Baduy, tidak perlu menggunakan penggebuk kebo untuk memukul lalat. Nggak perlu surat ke Presiden untuk sekedar menutup kawasan Baduy. Kalau para ketua adat minta pintu masuk kawasan ditutup… ya harus tutup.

Saya membayangkan Om Don Hasman pasti akan senyum-senyum saat membaca artikel kemarin… hehehe. ***

(Tulisan Muhammad Arif Kirdiat ini dimuat atas ijin penulisnya)