#CATATANJAKARTASATU

TENTANG KEMERDEKAAN

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya

1953

Toto Sudarto Bachtiar (1929-2007)

Sengaja saya ambil Puisi dari Toto Sudarto Bachtiar (TSB) diatas sebagai penyemangat itu dihari 75 tahun Indonesia merdeka. Sajak TSB itu diambil dari Kumpulan Sadjak 1950 – 1955 (Balai Pustaka, Jakarta, 1962). 

Toto Sudarto Bactiar /ist

TSB adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibu kota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan. Puisi Pahlawan Tak Dikenal sangatlah akrab di siswa-siswa Sekolah Dasar. Sajak yang sangat terkenal ini hampair di perlombaan atau hari besar kepahlawanan bergema.

TSB lahir di Palimanan, Cirebon Jawa Barat, 12 Oktober 1929, meninggal 9 Oktober 2007 di rumah salah seorang familinya di Cisaga, Ciamis, Jawa Barat. TSB meninggalkan seorang istri, Zainar (80), seorang putri, Sri Adila Perikasih serta dua orang cucu. Pendidikan yang ditempuhnya HIS di Banjar (Ciamis), Sekolah Pertanian di Tasikmalaya, Mulo di Bandung, dan terakhir pernah kuliah di Fakultas Hukum UI, Jakarta.

TSB seorang penyair yang luar biasa, Tahun 1950-an namanya muncul yang diperkenalkan pertama kali oleh adalah paus sastra Indonesia yaitu H.B. Jassin lewat sajaknya “Ibu Kota Senja”.

TSB juga adalah penterjemah yang baik dari karya sastra dan dramawan dunia. Karya ternama dari drama “Pelacur” (Jean Paul Sartre, 1954), Sulaiman Yang Agung (Harold Lamb, 1958), Bunglon (Anton Chekov, 1965), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan sebuah novel Ernest Hemingway, 1976, dan Sanyasi drama Rabindranath Tagore, 1979. 

Kumpulan Puisi karya Toto Sudarto Bactiar/ist

TSB juga dikenal sebagai penyair dengan dua kumpulan puisinya yakni Suara (1956) dan Etsa (1958). Untuk kumpulan puisi Suara, Toto memenangkan Hadian Sastra BMKM pada tahun 1957.

Subagio Sastrowardojo menyebut Toto dengan “Hati Sabar Toto Sudarto Bachtiar”. Nada-nada duka yang hampir mewarnai di seluruh puisinya. Toto adalah tokoh yang sabar dan penerima menghadapi nasib, tangan nasib yang sering tidak terduga-duga dan tidak berperasaan juga diterimanya dengan sabar, bahkan sering dengan tersenyum atau malahan tertawa terbahak-bahak.

Toto merupakan lirikus yang kental dan jernih, kepekaan dan kesadaran personal dan sosialnya kuat dan tajam, tanpa menjerumuskan puisinya ke dalam jurang gelap atau menjadikannya serupa slogan yang sekerontang pidato. Puisi Toto membangun dan menempatkan posisinya sebagai puisi yang baik dan terasa wajar.

Dan yang menarik adalah tahun  1950 A. Teeuw menuliskah Toto Sudarto Bachtiar dengan kalimat:

What makes this poetry so difficult to understand is the obscurity of its syntactical connections. … and in addition to this there is his strongly associative, often symbolic use of words. … Altogether this makes reading these poems very much a matter of groping in the dark. … However, Toto Sudarto Bachtiar is one of the few really original Indonesian poets since 1950. Ya TBS adalah penyair asli Indonesia. A Teeuw tepat menyebut TSB demikian.

TSB merupakan generasi penerus penyair Chairil Anwar pada dasawarsa 1950-an. Nama TSB memang tak bisa dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. TBS juga saat itu menulis untuk majalah Siasat (dalam lembaran Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. TSB juga pernah menjadi redaktur majalah AURI Angkasa, redaktur Menara Jakarta.turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Bersama dengan Sitor Situmorang, Harijadi S. Hartowardoyo, Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono yang disebut Subagio Sastrowardoyo sebagai generasi Kisah dan dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan “sejarah”.

Saya ingin menyebut TSB di hari kemerdekaan ini, karena saya ingin mengatakannya dan sempat beberapa kali berdialog dengan TSB di rumahnya di kawasan Buah Batu Bandung dekat kampus Seni dimana saya menimba ilmu dan tentu waktu itu saya masih mahasiswa – sampai lepas saya menjadi jurnalis. Saya juga pernah meminta TSB diskusi Sastra saat itu di CCF (IF-Kini) Francis di Bandung dimana TSB bicara sastra bersama Ayu Utami yang saat awal-awal dia muncul sebagai pemedanng Sayembara Roman DKJ.

Saya juga dekata sekali dengan  Mohamad Sunjaya (alm) aktor teater yang juga sahabatnya TSB, menrut Kang Sunjaya bahwa sosok Toto Bachtiar adalah figur yang sederhana dan yang terpenting dia anti suap. Ia juga menyebutkan, Toto merupakan salah satu pejuang kemerdekaan karena sempat menjadi tentara. “Meski demikian diakhir hayatnya TBS tidak memiliki pensiunan,”kenang Kang Sunyaya.

Akhirnya dalam Ngopi Pagi ini saya terbayang jika sempat ke Bandung saya akan ziarah ke makam TSB yang ada di TPU Gemuruh Bandung.

Semoga TSB  kini ditempatkan disisiNYA dan saya jadi ingat bait pertama

TENTANG KEMERDEKAAN karyanya

“Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya.”

Makanya foto laut saya pasang disaat kini Indonesia 75  tahun …. MERDEKA……!!!!

#KEBAGUSAN234, JAKARTASELATAN

@AENDRAMEDITA