M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Tuduhan radikalisme telah menyasar kepada umat beragama. Radikal selalu dikonotasikan buruk, destruktif dan main labrak. Radikalisme menjadi stigma baru setelah tetorisme yang “life time” nya sudah usai. Stigma buruk yang disandangkan pada umat Islam bahkan berpintu “good looking” hafidz dan “menguasai” bahasa arab.

Menurut KBBI radikal mengandung makna 1) secara mendasar (sampai kepada yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dari ketiga makna tersebut tidak ada yang mengarah pada tindakan destruktif. Butir dua “amat keras” pun dapat mengacu pada aspek jiwa atau semangat. Secara etimologi radikal berasal dari kata latin radix atau radici yang artinya “akar”.

Beragama harus radikal artinya harus kokoh dan berprinsip. Berakar kuat pada kebenaran yang diyakininya. Menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Konsisten dan konsekuen. Nabi Ibrahim As dan para Nabi lain mencontohkan sikap berprinsip dalam beragama. Doktrin dan kalamnya dikenal dengan “kalimah thoyyibah”.

“Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan ‘kalimah yang baik’ (kalimah thoyyibah) seperti ‘pohon yang baik’. Akarnya kokoh terhujam (ashluhaa tsaabit) dan cabangnya menjulang ke langit (far’uhaa fis samaa-i) “berbuah” setiap musim dengan izin Allah. Perumpamaan tersebut Allah buat bagi manusia, agar mereka ingat” (QS Ibrahim 24-25).

Kalimah dzikrullah, taushiyah, amar ma’ruf nahi munkar adalah “kalimah thoyyibah”. Begitu pula dengan konsep arau program ekonomi, budaya, dan politik yang sehat dan halal. Meluruskan penyimpangan adalah kalimah baik yang berakar kokoh. Menegur Imam salah, instruksi meluruskan barisan atau meminta keluar yang mengganggu ibadah itu semua kalimah thoyyibah.

Jadi ucapan atau sikap yang berbasis nilai kebenaran adalah kalimah yang dapat dikategorikan radikal dalam beragama. Maka tak ada yang salah jika kita harus radikal dalam beragama. Fanatik dan berprinsip, tentu tanpa mesti mengganggu keyakinan orang lain.

Jika sikap radikal beragama dinafikan, bahkan menjadi agenda yang harus ditiadakan, maka itu sama saja dengan membiarkan kemaksiatan berkembang apakah judi, zina, hasud, dengki hingga korupsi. Kezaliman yang ditoleransi.

Mereka yang toleran pada kemaksiatan, kesesatan, atau kesewenang-wenangan adalah orang yang tercabut dari akar (radix) keyakinan kebenarannya. Tak berpendirian dan goyah keimanan. Buzzer dan influencer dari kepemimpinan yang kriminal.

“Dan perumpamaan dari ‘kalimah yang buruk’ (kalimah khobiitsah) adalah bagaikan “pohon yang buruk’ yang tercabut akarnya dari tanah (ijtutsat min fauqil ardli) dan tidak memiliki ketetapan (maa lahaa min qaraar)”– QS Ibrahim 26.

Doktrin kalimah buruk (kalimah khobiitsah) dalam konteks agama dan politik adalah bid’ah-bid’ah, mistisisme, sekularisme, liberalisme dan komunisme. Narasi perjuangan yang anti moral dan kebenaran. Menuduh agama candu, agama steril dari politik, atau hafidz sebagai pintu radikalisme adalah kalimah buruk yang menunjukkan sikap mengambang dan jahat.

Menteri Agama yang tak memiliki sikap radikal dalam beragama bukanlah Menteri Agama. Ia bisa menjadi Menteri Mistisisme, Menteri Sekularisme, Menteri Liberalisme ataupun Menteri Komunisme.

Buang saja agama untuk suatu perjuangan yang selalu anti dan menista agama…!

*)Pemerhati Politik dan Keagamaan

Bandung, 10 September 2020