GEMES juga akhirnya nulis #Ngopimalam. Seorang sahabat yang juga pejuang pembangun jembatan di tanah air bersama Relawan Kampung Kang Arif (Muhammad Arif Kirdiat) dalam akun FBnya menulis analisa bagus atas respon Orkay (Orang Kaya) kirim surat ke Presiden RI. Judul tulisan Kang Arif itu:
“Saat Boss Djarum Berkirim Surat ke Presiden” isinya bagus dan analisanya sungguh baik. Saya kutip tulisannya:
Dalam dua hari ini, surat salah satu orang terkaya di Indonesia, Big Boss Djarum berseliweran di timeline dan grup WA serta pagi tadi jadi headline pemberitaan.
Robert Budi Hartono sang taipan berkirim surat ke Presiden Jokowi meminta agar PSBB yang dicanangkan oleh Anies Baswedan dibatalkan. Beliau menyodorkan data dan fakta kemerosotan ekonomi akibat PSBB.
Saya baca surat ini dari Pak Peter F. Gontha mantan komisaris Chandra Asri yang juga pernah jadi Dubes RI di Polandia yg kini jadi komisaris Garuda Indonesia.
Alasan Big Boss Djarum karena unit bisnis dan geliat ekonomi bisa redup akibat PSBB. Sejurus kemudian, para hatters Anies langsung menyambut surat ini dengan riuh rendah.
Ternyata data dari Bloomberg, sejak Maret 2020 kekayaan Hartono sekeluarga terus merosot dalam masa pandemi saat ini. Siapakah Hartono sekeluarga yang dalam 11 tahun terakhir menduduki peringkat pertama orang paling kaya di Indonesia dengan nilai 500 Trilyun lebih..?
Ternyata, selain pemilik perusahaan kretek, Hartono telah lebih dulu menguasai BCA dan Hotel Indonesia yang pernah heboh pada beberapa tahun lalu. Walaupun Pabrik Rokok Djarum bukan berada di Jakarta, namun unit bisnis lainnya yang sedang dikembangkan oleh Hartono sekeluarga berada di Jantung Ibu Kota. Jika ingin melihat etalase kekayaan Djarum, bisa dilihat pada area sekitar Bunderan Hotel Indonesia.
Tentu ini menjadi pilihan sulit bagi Pak Jokowi, karena untuk ikut dalam keputusan PSBB di Jakarta yang disetujui oleh Tim Satgas Covid dan Kemenkes atau memenuhi Surat Boss Djarum dalam bayang-bayang ancaman negara lain yang menyoroti lemahnya penanganan Covid, mulai dari minimnya Alkes dan APD serta tingginya angka kematian para tenaga kesehatan di Indonesia.
Tulisan Kang Arif ini menarik karena memang tak semua tahu detail soal Djarum. Dan Djarum adalah pemain sejumlah bisnis besar di tanah air. Mulai dari rokok, elektronik, perkebunan, minerba, industri kertas, mall, Perhotelan, bahkan media sampai e-commerce.
Media Kontan pada April2015 pernah mneulis riak bisnis Grup Djarum bisa jadi tak terlihat mencolok dibandingkan dengan konglomerasi bisnis lain. Grup perusahaan milik Keluarga Hartono tersebut menjalankan sejumlah strategi di luar bisnis utama, yakni bisnis rokok. Pertimbangannya, bisnis rokok yang sudah mereka geluti selama lebih dari enam dekade sejak 1951, relatif stagnan.
“Maksudnya, pasar rokok, kan, ya, seperti itu saja. Tetap tumbuh, tapi cukai selalu naik, sementara aturannya sangat ketat,” ujar Victor R. Hartono, Chief Operating Officer PT Djarum, kepada Kontan, Rabu (8/4/2015) Itu sebabnya, grup usaha ini mendiversifikasikan bisnis lain. “Diversifikasi bisnis yang kami pilih adalah bisnis yang mampu menjadi penyeimbang core bisnis kami,” kata Victor, generasi ketiga grup usaha ini.
Paling tidak ada tiga bisnis sampingan yang Grup Djarum seriusi. Pertama, mengembangkan bisnis perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI). Melalui PT Hartono Plantation Indonesia, Grup Djarum memiliki kebun sawit yang sudah ditanami, seluas 30.000 hektare (ha) di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Target Djarum, memiliki 50.000 ha kebun sawit. Potret harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dunia yang meredup tak membikin Grup Djarum jiper. Katalis positifnya adalah tiga konsumen besar CPO dunia yakni China, India dan Indonesia sendiri. Katalis positif lain, aneka hasil turunan CPO memiliki nilai jual yang menjanjikan. Sebut saja minyak goreng dan bahan kosmetik.
Sayang, Victor, enggan mengungkapkan anggaran ekspansi bisnis itu. Sebagai gambaran saja, sejumlah emiten saham perkebunan kelapa sawit yang menggelar ekspansi penambahan lahan dan penanaman sawit, menyediakan anggaran Rp 60 juta-Rp 65 juta per ha. Anggaran itu untuk membeli lahan serta menanam dan merawat pohon sawit. Anggaran itu berlaku untuk empat tahun sampai tanaman berbuah.
Jika mengacu pada hitungan para emiten itu, untuk menambah 20.000 ha kebun sawit, setidaknya kelompok usaha ini harus menganggarkan Rp 1,8 triliun-Rp 1,95 triliun dalam empat tahun. Tak cuma sawit, Grup Djarum juga mengembangkan HTI kayu di Kalimantan Timur. Grup perusahaan itu memiliki lahan seluas 20.000 ha yang sudah ditanami. Pengembangan bisnis itu untuk mendukung industri kertas. Sampingan kedua, mengembangkan e-commerce (perdagangan elektronik). Melalui Blibli.com, Grup Djarum menganggarkan lebih dari 1 juta dollar AS per tahun untuk mengembangkan bisnis ini. Grup Djarum tak ragu mengucurkan dana besar karena melihat potensi bisnis e-commerce di tanah air. Menurut dia, e-commerce adalah bisnis masa depan.
Nilai transaksi bisnis itu di Indonesia juga masih di bawah 1 persen terhadap total transaksi ritel. Ketiga, mengembangkan bisnis elektronik melalui Polytron. Grup Djarum berencana fokus memproduksi televisi, kulkas, AC dan telepon seluler (ponsel). Perusahaan itu berambisi memenangkan pasar televisi LCD dan LED yang masih dipegang pabrikan Jepang dan Korea Selatan. Khusus untuk bisnis ponsel, perusahaan itu akan mengeluarkan terobosan anyar. Asal tahu saja, Grup Djarum juga memiliki bisnis properti dan perhotelan. Proyeknya adalah mal Daan Mogot, WTC Mangga Dua, Grand Indonesia dan perumahan Resinda di Karawang, Jawa Barat. Grup perusahaan tersebut juga dikenal memiliki portofolio investasi di sejumlah perusahaan lain. Misalnya di Bank BCA dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk. “Kami tidak ikut campur bisnisnya, kami percayakan pada profesional,” kata Victor dan semua ini dilansir https://money.kompas.com/read/2015/04/10/113200826/Ini.Bisnis.Sampingan.Grup.Djarum.di.Luar.Rokok
Soal BCA mungkin saya ingn tambahkan bahwa Djarum masuk diawal 2001 kalau tak salah lewat Parallon saat itu mungkin masih kecil. Tapi pada tahun 2010 Grup Djarum menjadi penguasa saham mayoritas di BCA setelah membeli sahamnya senilai Rp 3,45 triliun.
Dana Rp 3,45 triliun itu setara untuk membeli 515 juta lembar saham BCA atau sekitar 3,09% di harga Rp 6.700 per lembar saham. Dengan adanya transaksi tersebut, maka Grup Djarum menguasai 50,24 saham di bank swasta tersebut.
“Pembelian saham itu dilakukan oleh dua anak usahanya, Tricipta Mandhala Gumilang dan Caturguwiratna Sumapala melalui Credit Suisse dari UBS Securities,” ujar salah satu sumber yang mengetahui transaksi tersebut kepada detikFinance, Selasa (21/12/2010).
Dua anak usaha tersebut merupakan pemegang saham pengendali dari PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR). Sebelumnya, Grup Jarum juga sudah meraup dana sebanyak Rp 4,763 triliun dari penjualan saham TOWR.
Dana yang didapat setelah menjual saham TOWR itu ternyata digunakan untuk membeli sebagian saham di BCA. “Dengan adanya transaksi ini maka secara keseluruhan grup Djarum memiliki sekitar 50,24% berdasarkan outstanding shares BCA,” bisik sumber tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, Credit Suisse memfasilitasi transaksi tutup sendiri alias crossing saham BCA sebanyak 1,03 juta lot saham atau setara 515 juta lembar saham. Nilai transaksinya sebanyak Rp 3,45 triliun. Pada perdagangan hari ini, saham BBCA dibuka di Rp 6.700 per lembar saham. Hingga pukul 10.20 waktu JATS, saham BBCA turun Rp 150 ke Rp 6.500 per lembar saham.
Sebelum transaksi ini, komposisi kepemilikan saham di BCA adalah Farindo Investment/Grup Djarum (47,15%), Anthony Salim (1,76%), Masyarakat (49,91%) dan Treasury Stock (1,18%). Belum diketahui, saham milik siapa yang dibeli oleh Farindo.
Sesuai dengan surat Bank Indonesia No. 12/21/DPB3/TPB3-7 tanggal 25 Februari 2010, pemegang saham pengendali FarIndo Investments (Mauritius) Ltd adalah Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono yang merupakan pemilik grup Djarum.