M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Omnibus Law bukan saja fenomenal tetapi kontroversial. Penolakan sangat masif dan mengguncangkan baik yang dilakukan oleh buruh, mahasiswa maupun kalangan akademik.
Korban pun berjatuhan secara fisik dan penangkapan-penangkapan.

Anggota Dewan ikut babak belur karena memutuskan RUU menjadi UU dengan cara tidak lazim. Di berbagai media nada sinis membuka borok tentang kejanggalan penetapan. Kategorinya cacat hukum. Tapi secara institusi DPR merasa tak bersalah dapat membuat sejuta dalih. Maklum wakil rakyat telah mengambil alih kedaulatan rakyat. Demokrasi menjadi Dewankrasi.

Dewan dan Pemerintah telah menjadi satu paket, sebuah rezim. Hancur sudah sistem check and balances. Pembagian kekuasaan (distribution of power), apalagi pemisahan kekuasaan (separation of power) sudah tak ada dan yang nyata adalah penyatuan kekuasaan (unification of power).

Simbolisasi untuk ini adalah Jokowi dan Puan dalam satu singgasana Raja dan Ratu. Titah keduanya tak bisa dibantah. Keduanya berhak memerintahkan apa saja termasuk menuduh atau melakukan hoaks. Bagai dunia hewan dalam kerajaan kodok, kerajaan bebek, atau kerajaan singa. The King can do no wrong.

Dalam sebuah fabel dikisahkan Raja Singa memakan daging dan petai hingga mulutnya berbau busuk. Lalu ia bertanya pada seekor bebek dan bebek yang ketakutan menyebut bahwa sang Raja mulutnya wangi. Namun raja tahu bebek berdusta, dihukumlah ia. Ketika bertanya pada kodok yang melihat bebek dihukum, ia dengan yakin menyebut bahwa mulut raja itu bau. Karena dianggap menghina, kodok pun kena hukum. Semua jadinya salah.

Omnibus Law hanya kebenaran Raja bukan yang lainnya. Kebenaran ada di ruang istana. Kata Plate jika Pemerintah sudah nyatakan apa yang diteriakan rakyat itu hoaks, maka itu adalah hoaks. Pemerintah tidak perlu baca lagi . The King can do no wrong.
Omnibus Law adalah undang- undang daging dan petai. Bau busuk.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 15 Oktober 2020