Abu Muas Tardjono/ist

Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)

Para warganet dan atau nitizen khususnya pandemen (pecinta) budaya Jawa dan lebih spesifik lagi pandemen pagelaran wayang kulit, tentu sudah tak asing lagi dengan sosok tokoh wayang yang satu ini, Bagong.

Lakon Bagong Mbangun Deso yang dibawakan oleh dalang generasi millenial Ki Seno Nugroho (Alm) yang disiarkan melalui beberapa channel di Youtube, ternyata sangat banyak penggemarnya hingga ratusan ribu followernya. Begitu sangat apik alur cerita dan humor segar yang dibawakan Ki Seno sedikitnya ada yang dapat diambil filosofinya dalam meniti kehidupan.

Bagong yang secara khusus menjadi ikon Ki Seno, diracik sedemikian rupa oleh Sang Dalang dari sosok Bagong sebagai punokawan yang dalam strata kehidupan kita jika boleh dibilang strata bawah atau wong cilik. Dalam alur ceritanya, diceritakan Bagong statusnya sebagai pimpinan daerah yang hampir habis masa tugasnya dan ingin mencalonkan kembali karena masih dipercaya dan dicintai rakyatnya ingin membangun desanya.

Dusun/Deso Pringapus yang menjadi objek pembangunannya, Bagong punya syarat harus menanam buah Pelem (Mangga) Pertonggo Jiwo dan Jambu Dipo Nirmolo. Keberadaan kedua buah yang diinginkan Bagong ini hanya ada di Kahyangan sebagai santapan para dewa.

Singkat kisahnya, sosok Bagong yang digambarkan hanya sebagai sosok punokawan atau wong cilik tentu tidak bisa sembarangan masuk ke Kahyangan. Untuk dapat meraih cita-citanya, Bagong dibantu oleh Uwa Togog diganti penampilannya menjadi Satria Penengah Pendawa, Arjuna.

Kisah Bagong Mbangun Deso, sosok Bagong sebagai punokawan atau wong cilik disulap oleh Uwa Togog jadi Satria Bagus dan Ngguanteng Sejagad, Arjuna.

Kini, di luar dunia pewayangan alias dunia nyata kita lihat malah sebaliknya, sosok orang tak jelas identitasnya patut diduga disetting jadi gelandangan yang mangkal di jantung kota metropolitan, bukan di perkampungan kumuh.

Filosofi Bagong Mbangun Deso berangkat dari sosok wong cilik atau wong ndeso yang punya cita-cita mulia membangun desanya demi kemakmuran rakyatnya, sedangkan sebaliknya gelandangan yang patut diduga settingan berangkat dari orang tak jelas identitasnya disulap menjadi gelandangan instant di tengah kota yang tanpa disadari telah menjatuhkan martabat sebagai sebuah bangsa.***