M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Banyak tersiar berita mengenai semangat Pemerintahan Jokowi untuk keluar dari krisis atau melakukan lompatan besar pasca krisis. Bahkan saat membuka secara virtual Rakornas III KAHMI tanggal 15 Januari 2021 Jokowi bertekad untuk melakukan lompatan saat krisis.

Melompat berdasarkan langkah yang diakuinya “extra ordinary” seperti reformasi birokrasi, UU Cipta Kerja, pengembangan UMKM, serta pembentukan Indonesia Investment Authority sebenarnya kontroversial, sebab rezim investasi ini di lapangan mengalami hambatan atau kegagalan. UU Cipta Kerja yang diobrak abrik buruh, birokrasi yang semakin gemuk, serta program UMKM yang tak jelas dan terkesan lebih pada pencitraan.

Banyak netizen menyindir tentang akumulasi mimpi-mimpi Jokowi yang realisasinya jauh panggang dari api. Pada tingkat ekstrim ada yang usul agar Jokowi segera dilaporkan ke Kepolisian dengan mereferensikan pada Babe Haekal yang juga dilaporkan akibat mimpi bertemu Rosulullah SAW.

Mimpi melompat di tengah krisis boleh-boleh saja, akan tetapi nampaknya yang dibaca publik adalah sebaliknya dimana Pemerintahan Jokowi justru sedang bersiap siap melompat ke dalam got kembali. Roket menukik meluncur ke bawah.

Krisis ekonomi semakin dalam, hutang luar negeri semakin dahsyat, daya beli rakyat semakin gawat, dan investasi yang tak kunjung meningkat. Dana alokasi mengatasi pandemi dikorupsi oleh kader PDIP Juliari dan koleganya. Diteliti keterlibatan banyak pihak termasuk Istana sendiri.

Mimpi melompat seperti harimau (leaping like a tiger) sulit terealisasi sebab faktanya adalah melompat-lompat seperti katak (jumping like a frog). Kebijakan yang tak terencana dengan baik, reaksioner dan cenderung tambal sulam. Berkhayal untuk melompat di tengah krisis namun yang terjadi adalah melompat-lompat memperdalam krisis.

Omnibus law, reshuffle asal-asalan, vaksin tergesa-gesa, ancaman pidana penolak vaksin, lelang SUN 35 Trilyun, serta “menjual” danau Toba ke China adalah contoh kebijakan yang melompat-lompat seperti katak. Sementara saat berada dalam air menendang-nendang juga.

Setelah hantu radikalisme di sebar, kini hantu baru dimunculkan yakni ekstrimisme yang mengarah pada terorisme sebagaimana Perpres No 7 tahun 2021 yang baru diterbitkan.

Perpres No 7 tahun 2021 adalah tendangan katak beracun. Patut diduga sasarannya tak lain adalah umat Islam. Kelanjutan dari isue atau kebijakan “radikalisme, intoleransi, dan anti kebhinekaan” sebelumnya. Umat Islam dikesankan sebagai kekuatan berbahaya bagi Pemerintahan Jokowi yang sekuler, pragmatis, dan materialistis. Perpres terbaru yang diterbitkan ini potensial untuk membangun iklim politik saling curiga dan rawan adu domba.

Kebijakan melompat-lompat (jumping like a frog) ini sebenarnya menunjukkan tiga fenomena. Pertama, pembangunan tanpa rencana. Kedua, menciptakan kegaduhan secara permanen. Ketiga, penggunaan alat paksaan untuk memproteksi dan mengekalkan kekuasaan.

Tiga fenomena tersebut menjadi ciri negara otoritarian yaitu negara yang jauh dari prinsip demokrasi, abai terhadap hak-hak asasi, serta di tengah pandemi masih bisa menari-nari. Menari melompat-lompat ke kanan dan ke kiri.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

19 Januari 2021