Din Syamsuddin /Foto AME-JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Melaporkan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) oleh Gerakan Anti Radikal (GAR) ITB dengan tuduhan tak berdasar dapat dikategorikan perbuatan pidana. Deliknya pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP maupun UU ITE.

Itu tentu tergantung Pak Din sendiri untuk bersikap, walaupun sebenarnya publik jengkel atas sikap GAR ITB yang telah mempermalukan diri. Melacurkan kualitas akademik alumni ITB. Kampus hebat yang dirusak oleh mental alumni yang menghamba pada kekuasaan. Menurut orang Belanda itu namanya “sklaven geist” bermental budak !

Radikalisme itu adalah isu atau ideologi yang sering dinyatakan oleh kaum penjajah kepada mereka yang bersikap kritis terhadap kebijakan penjajah. Ekstrim, radikal, pemberontak adalah sebutan yang disematkan kepada pribumi yang berjuang untuk kemerdekaan negeri. Mereka difitnah dan diadu domba oleh penguasa dengan memanfaatkan pribumi yang berwatak penghianat.

GAR mestinya berdiskusi dahulu dengan sesama akademisi untuk menetapkan kriteria yang jelas, absolut, dan akademikal tentang radikal dan radikalisme. Jangan seenaknya menetapkan radikal atas sikap kritis dan korektif. Terlalu naif atau kekanak-kanakan jika demikian. Tanpa kejelasan definisi atau makna, maka sebenarnya tuduhan itu dapat menunjuk pada diri sendiri.

Dahulu Musa As, Ibrahim As, dan Nabi Muhammad SAW juga dituduh, jika oleh jaman sekarang, sebagai orang radikal, padahal yang sejatinya radikal itu adalah penguasa Fir’aun, Namrud, dan Abu Jahal. Mereka adalah ekstrimis atau radikalis dalam keburukan, kezaliman, dan kriminal.

Nah tentu GAR yang seenaknya menuduh radikal kepada Prof. Din Syamsuddin, tidak akan senang jika disebut juga sebagai radikal keburukan, kezaliman, dan kriminal seperti Fir’aun, Namrud, atau Abu Jahal. Oleh karenanya bersikap lebih santun, bijak, dan “nyakola” lah sedikit. Saling menghormati sesama akademisi, perbedaan adalah hal yang wajar. Sikap kritis inheren dengan karakter kecendikiawanan. Bukan untuk saling memusuhi apalagi sekedar mencari muka.

Melaporkan Din Syamsuddin kepada KSAN adalah pencemaran nama baik. Perbuatan melawan hukum yang sama saja artinya dengan main hakim sendiri “eigen richting”.

Majalah Tempo pernah memprihatinkan keruntuhan moral dunia kampus dengan membuat ilustrasi cover tikus bertoga dan ber”barcode harga”. Kampus yang digambarkan telah kehilangan nilai-nilai intelektual. Tempat pagiarisme dan komersialisme bersarang. Sama juga dengan tempat para kolaborator, penghianat, pencari muka bersembunyi. Organisasi para agen dan penyembah kekuasaan.

GAR ITB tak perlu menjadi tukang lapor-lapor seperti para buzzer peliharaan penguasa. Hadapi secara dialogis masalah yang menjadi misi perjuangannya. Buka ruang diskusi, buktikan kecendikiawanan diri dan organisasi. Menjadi pelaksana dari prinsip “in harmonia progressio” bukan sebaliknya penyebab kemunduran dalam ketidakharmonisan.

Sayang jika ITB dicemari oleh para “buzzer” penguasa berkedok alumni. ITB itu hebat dan terhormat. Mandiri dan merdeka.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 13 Februari 2021