M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Tentu aneh jika dua lembaga penegak hukum ditempatkan saling bertarung. Akan tetapi jika kekuasaan politik ikut menentukan penegakan hukum, maka bukan mustahil antar lembaga penegak hukum tersebut pun dapat saling berkompetisi bahkan berkonfrontasi. Kepentingan politik yang memperalat hukum.

Kejagung memiliki ruang lingkup penyelidikan yang luas, termasuk kasus korupsi. Sementara KPK khusus untuk mengusut kasus korupsi. Batas pilihan penanganan oleh Kejagung maupun KPK ternyata tipis tipis saja. Korupsi di bawah nilai satu Milyar memang ditangani Polisi dan Kejaksaan, KPK melakukan pengawasan dan supervisi. Perpres 102 tahun 2020 memberi kewenangan kepada KPK mengambil alih penanganan untuk keadaan tertentu.

Kejagung dapat menangani kasus korupsi di atas satu Milyar. Kini saja Kejagung menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan angka kerugian negara 16,81 Trilyun sementara Asabri mencapai 23,73 Trilyun. Kejagung pun didorong untuk mengusut dana BPJS Ketenagakerjaan yang ditaksir senilai 20 Trilyun. Kenapa tidak KPK ?

KPK melalui Dewan Pengawas adalah “tangan Presiden” sementara Kejagung dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah “milik PDIP”. Sebelumnya Jaksa Agung itu kepanjangan tangan Partai Nasdem. Disinilah akar pertarungan bermula. Ada nuansa politik meski samar. Begitu keras perebutan antara Nasdem dengan PDIP soal Jaksa Agung saat penyusunan Kabinet dahulu.

Kasus Jiwasraya menohok Istana, demikian juga Asabri. Karenanya Istana melalui KPK “membalas” dengan mengusut kader PDIP Harun Masiku dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sebenarnya merembet ke petinggi PDIP lain, hanya hilangnya Masiku membuat terhenti rembetan tersebut. Misteri besar dari kasus ini. Istana menyerang terus PDIP melalui kasus Bansos yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari Peter Batubara, kader PDIP.

Melalui kesaksian dalam pemeriksaan disebut keterlibatan lingkungan Istana “Anak Pak Lurah” lalu sodokan lagi menuju “Madam” PDIP. Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada “Anak Pak Lurah” maupun “Madam”. Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi. Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang bayang politik.

Semestinya jika akur tentu Kejagung dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS akan melibatkan KPK akan tetapi prakteknya berjalan sendiri. Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim. Disini terkesan ada “tarik ulur” dan “tekan menekan”.

Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejagung bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya. Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerjasama. Jika berlomba pun dalam rangka berprestasi membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan menjadi alat “bargaining politik”.

Rakyat bertanya sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK sebab justru yang dirugikan adalah rakyat. Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan penguasa. Koruptor, terminator, dan predator.

Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati ditengahnya.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

18 Februari 2021