M Rizal Fadillah/FOTO OLAHAN JAKSAT

by M Rizal Fadillah

Adalah ungkapan syukur “Alhamdulillah” Denny Siregar aktivis Syi’ah yang sekaligus buzzer yang menyindir warga Aceh dan pemerintahannya atas laporan BPS Aceh mengenai naiknya angka kemiskinan sebesar 15,43 % pada September 2020 yang dinilai tertinggi di Sumatera.

Twit Denny sangat menyakitkan, ia mengoceh “Lho, propinsi termiskin itu prestasi. Karena jadi propinsi kaya itu biasa, sudah banyak yang melakukannya. Miskin itu gaya hidup yang tak semua orang bisa. Pertahankan posisi juara bertahan ! Anda bisa”.

Dengungan buzzer ini dinilai tak layak karena hanya dengan berdasar laporan BPS saja ia sudah menyimpulkan terlalu jauh. Bersyukur lagi.
Netizen mengingatkan akan kontribusi Aceh bagi bangsa dan negara. Sumber Daya Alam yang dialokasikan untuk Pemerintah Pusat cukup besar baik gas alam, nikel, emas, minyak bumi, hingga perkebunan.

Dikaitkan dengan sejarah, maka mudah menunjukkan sumbangan besar masyarakat Aceh mulai dari pesawat RI OO1 Seulawah 1 dan 2, kapal laut, hingga 28 kg atau sebagian besar emas Monas adalah sumbangan sukarela dari putera Aceh Teuku Markam.

Sindiran Denny Siregar dinilai keterlaluan dan berbahaya. Aceh, Maluku, dan Papua adalah propinsi yang potensial untuk memisahkan diri dari NKRI. Bila hantaman semakin tajam dan penghargaan kepada masyarakat Aceh hilang, bukan mustahil berujung pada desakan referendum pemisahan. Jika ini yang terjadi bukan hanya Aceh yang berpisah. Ada efek domino.

Pemerintah harus segera membungkam buzzer-buzzer berbahaya seperti Denny, Abu Janda, Ade Armando dan lainnya sebagai wujud penegakan hukum berdasarkan keadilan. Kebebasan yang diberikan kepada para buzzer tanpa batas, dapat menciptakan ketersinggungan regional maupun nasional. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan aspek keagamaan atau keumatan.

Denny Siregar sudah berulangkali berulah dan berulangkali pula dilaporkan ke Kepolisian tanpa ada tindak lanjut proses hukum. Kondisi ini akan menyebabkan kekecewaan publik yang semakin memuncak. Proteksi kepada buzzer dinilai mencolok dan berlebihan. Privilege yang unlawful.

Mengapa Denny selalu sinis dalam cuitannya dan senantiasa menohok kepada sentimen keagamaan sebagaimana menuduh “calon teroris” kepada santri cilik di Tasikmalaya ? Nampaknya Denny tidak akan menyerang jika Aceh bukan propinsi khusus yang menerapkan syari’at Islam.

Tiga status yang melekat pada diri Denny sehingga terkesan Islamophobia, yaitu :

Pertama, sebagai buzzer yang sewarna dengan rezim yang kurang atau tidak bersahabat dengan umat Islam. Radikalisme dan ekstrimisme diarahkan pada umat.

Kedua, sebagaimana pengakuannya bahwa Denny adalah Syi’ah sementara mayoritas umat Islam Indonesia itu Sunni. Sebagai aktivis Syi’ah tentu ia dituding berupaya menciptakan instabilitas dengan ocehan dan sikap politiknya.

Ketiga, sebagai pegiat sosial media, Denny memanfaatkan media ini untuk menyerang banyak orang dan tokoh seperti Novel, Prabowo, Almira Yudhoyono, HRS, hingga Anies Baswedan. Tokoh Aceh Fahrul Rozi dibully saat pembuatan Qonun yang berkaitan dengan Hukum Keluarga.

Sikap sinis kepada masyarakat dan pemimpin Aceh sebagai propinsi berprestasi kemiskinan sungguh menyakitkan. Jika ia berada dan menjadi warga Aceh mungkin sudah dihukum mati. Beruntung ia berada di area ibu kota Negara sehingga bisa berlindung dan sembunyi di pantat penguasa.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 26 Februari 2021