OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Meski pilpres 2024 masih lama, tapi gaungnya sudah terasa. Bahkan sejak 2019 lalu. Padahal, pilpres 2019 baru juga selesai, dan presiden-wapres belum dilantik.

Apa penyebabnya? Pertama, karena selisih suara dua paslon tidak terlalu besar. Artinya, kelompok yang tidak puas atas kekalahan itu cukup besar, sehingga ingin segera ada pemilu. Padahal, pemilu masih lama. Ini risiko jika pemilu hanya diikuti dua paslon.

Kedua, komunikasi kedua belah pihak yang bermasalah. Meski Prabowo dan Sandi, paslon yang kalah di pilpres 2019 sudah merapat (dirapatkan) ke istana, namun tidak serta merta dengan para pendukungnya.

Ketiga, aksi para buzzer dari kedua belah pihak ikut memelihara eskalasi ketegangan dan kegaduhan di media publik.

Bagaimana prediksi pilpres 2024? Nampaknya, Prabowo masih digadang-gadang oleh Gerindra untuk calon lagi. Sekali calon wapres, dua kali capres. Jika 2024 capres lagi, berarti genap tiga kali.

Pencalonan Prabowo hanya logis jika dilihat sebagai upaya untuk menjaga suara partai. Pemilih Prabowo besar kemungkinan akan banyak yang memilih Gerindra.

Bagaimana peluang Prabowo sendiri di pilpres 2024? Mari kita lihat analisis elektabilitas secara teoritis.

Ada tiga karakter elektabilitas berdasarkan potensinya
1. Ektabilitas progresif
2. Elektabilitas stagnan
3. Elektabilitas regresif

Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, elektabilitas Prabowo saat ini tertinggi. Belasan persen. Sebagai catatan “saat ini”.

Prabowo masih tinggi, karena di kepala publik Prabowo adalah bakal capres. Sebab, sudah dua kali nyapres. Dan Gerindra sendiri memberi sinyal Prabowo akan nyapres lagi.

Sementara tokoh lain, belum masuk arena pencapresan ini. Sehingga, kemunculan tokoh-tokoh lain masih dalam bentuk harapan publik.

Berbeda jika 2022-2023, maka akan muncul tokoh-tokoh lain yang terbaca indikatornya akan nyapres. Pada saat itulah akan mulai terlihat dinamika elektabilitas itu.

Tokoh tua, cenderung stagnan elektabilitasnya. Sebab, relatif tidak ada yang baru untuk dijual. Semua bahan lama, dan sudah sering dibeli oleh publik. Ada yang bertahan, tapi tak sedikit yang sudah bosan. Apalagi jika ada faktor yang membuat publik kecewa, maka akan banyak yang meninggalkannya.

Berbeda dengan pendatang baru. Pendatang baru cenderung progresif elektabilitasnya, terutama jika rising star, punya track record yang diapresiasi publik, dan tidak hanya berbasis pemilih psikologis dan sosiologis, tapi juga pemilih rasional. Karena pemilih rasional, meski tidak sebanyak jumlahnya dengan pemilih psikologis dan sosiologis, tapi mampu mempengaruhi opini publik.

Berbeda ceritanya jika tokoh muda dan pendatang baru itu senang memainkan hasil survei. Nah, pendatang baru yang suka memainkan survei ini masuk dalam kategori elektabilitas regresif. Tahu-tahu jeblok.

Dua cara memainkan survei. Pertama rekayasa prosesnya. Main di sampling. Melakukan pengkondisian terhadap responden. Kira-kira, di wilayah mana yang besar pendukungnya, mereka ambil samplenya.

Kedua, merekayasa hasil. Survei gak ada, hasilnya muncul. Nah, sejumlah lembaga survei ada yang melakukan rekayasa semacam ini. Rekayasa responden dan rekayasa hasil.

Tokoh yang suka main-main dengan survei biasanya keok ketika ikut kompetisi. Mereka tidak hanya membohongi publik, tapi juga membohongi diri sendiri dan timsesnya.

Kesimpulannya: tokoh lama seperti Prabowo, juga Mega dan Jusuf Kalla (JK) jika masih penasaran untuk ikut dalam kompetisi di pilpres 2024, cenderung stagnan elektabilitasnya. Ada batas tertinggi elektabilitasnya, dan sulit untuk didorong naik. Bahan lama dan konsumen cenderung bosan. Ingin dan penasaran kepada yang baru.

Sementara tokoh baru, Anies menduduki elektabilitas tertinggi. Baru disusul Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Agus Harmukti Yudhoyono, Risma, dan seterusnya. Tokoh-tokoh muda ini masuk kategori progresif elektabilitasnya. Dalam pengertian berpotensi untuk didorong naik dan bersaing. Kecuali yang suka memanipulasi survei. Siapa? Nanti akan ketahuan menjelang atau saat pilpres.

Jakarta, 28 Pebruari 2021