Putin/ist
Sebelum pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara, para globalis cabal sebenarnya sudah menguasai hampir 95% aset di planet bumi. Maka dengan ambruknya Soviet, mereka merasa tidak ada lagi penghalang untuk mewujudkan mimpi membentuk New World Order (NWO) alias Tata Dunia Baru.
Ketika Vladimir Putin mengambilalih kekuasaan dari Boris Yeltsin, banyak pihak menduga kepemimpinannya tidak jauh beda dengan Yeltsin. Namun publik salah terka. Selain punya partriotisme tinggi, Putin memiliki rasa keadilan dan kemanusiaan yang kuat. Dan di atas semuanya, ia adalah reinkarnasi atas kebangkitan – kemandirian Rusia di bidang politik dan ekonomi.
Dari perspektif geopolitik, status Rusia sekarang adalah autarki. Negara mandiri dan swasembada yang tak bergantung negara lain. Beruang Merah —sebutan lain Rusia— mampu memenuhi kebutuhan sendiri terutama air (bersih), pangan dan energi.
Langkah (awal) strategis Putin ialah membangun kekuatan militer secara diam – diam menjadi militer modern, handal, canggih serta memiliki ofensivitas daya gempur tinggi dan mampu melumpuhkan target dalam hitungan jam. Rusia memiliki kepercayaan diri untuk mengalahkan NATO seperti yang pernah ia tampilkan pada September 2015 di Syria. Atau, ketika ia menduduki Georgia (tahun 2008) dalam waktu seminggu di satu sisi; sementara AS dan sekutunya NATO-ISAF, hampir 10-an tahun (2001-2011) tak mampu mengalahkan Taliban di Afghanistan pada sisi lain.
Sebuah perbandingan mencolok mata. Kenapa? Georgia itu negara berdaulat yang memiliki militer reguler lagi profesional, sedangkan Taliban adalah milisi —di Indonesia semacam Banser— yang hanya berbekal senjata pampasan.
Tatkala Putin mulai melawan skema NWO di sektor perbankan, justru di internal kubu NWO mulai retak. Usai Putin unjuk gigi, beberapa negara di lingkar NWO mulai berbalik secara diam – diam ke Rusia.
Selanjutnya, selain Beruang Merah telah menggalang persekutuan strategis dengan Cina, Venezuela dan Iran, tampaknya Turki dan Saudi Arabia pun mulai ‘melirik’ Rusia. Putin juga berhasil menguasai pasar minyak dunia justru di depan mata NATO dan para bankers globalisisme.
Agaknya kini, skema NWO ibarat rumah kartu yang setiap saat bisa runtuh diterpa angin. Oleh karena itu, pandemi jadi-jadian (fake pandemi) pun diciptakan melalui isu Covid19 bertujuan mencegah hiper – inflasi yang bisa merontokkan nilai dolar.
Melalui pandemi, kaum globalisme berharap bisa menunda krisis dengan menciptakan crypto currency — uang digital, sehingga para bankers masih bisa mengontrol arus supply uang.
Melihat rencana tersebut, Putin balik menyerang dengan menolak menurunkan kapasitas produksi minyak agar harga minyak 30 dolar AS/barel. Dengan cara itu, produksi minyak Barat menjadi lumpuh. Akibatnya, perbankan internasional termasuk The Fed terpaksa mengambil uang yang berputar di pasar modal untuk menyuntik dana mencegah bencana ekonomi.
Nah, pada 13 Februari 2021 kemarin, Putin menyatakan bahwa negaranya kini telah bebas dari cengkeraman kartel perbankan Rothchild dan komplotan pendukung NWO.
Berbicara di depan Parlemen Rusia, ia menyatakan kemerdekaan total dari kartel perbankan di seluruh dunia. Monopoli dolar itu mengancam banyak bidang. Dan Putin membebaskan Rusia dari ketergantungan terhadap dolar.
De-dolarisasi perlu dipromosikan berdasarkan prinsip untuk melindungi kedaulatan negara.
Itulah pokok-pokok pemikiran Sylvain dengan improvisasi kecil dari penulis terutama soal latar geopolitik, NWO dan Bretton Woods Agreement.
Nah, sekarang menginjak pada analisis geopolitik berbahan pengamatan, kajian pustaka dan survei kecil penulis berbasis fakta empiris tentang siapa di balik Covid19.
Fakta empiris (empirical facts) itu metode mengkaitkan suatu data —peristiwa— dengan fakta lainnya, kemudian dirangkai, dianalisis, disusun serta disuguhkan dalam bentuk “gambar” atau narasi. Sedangkan terang atau tidaknya sebuah gambar, atau jelas atau samarnya narasi amat tergantung akurasi fakta dan/atau peristiwa yang dianggap sebagai data, termasuk ketajaman pisau analisa yang dipakai. Istilah kerennya: merangkai puzzle berserak menjadi sebuah bangunan.
Analisis ini berdasarkan tiga asumsi sebagai titik bahas, antara lain:
1. berjangkitnya wabah/penyakit di suatu wilayah ketika ia sudah menimbulkan kelumpuhan massal di berbagai sektor, maka bisa diduga bahwa peristiwa tersebut bukan sekedar wabah lazimnya, tetapi boleh dipersepsikan sebagai “senjata” dalam arti mesin perang di sebuah pertempuran;
2. bahwa perang masa depan ialah peperangan geopolitik yang didominasi oleh teknologi komunikasi generasi kelima (atau 5G) dengan sarana drone atau pesawat nir-awak;
3. pada tahun 1986-an, ada riset dan pembahasan tentang nano biological computer atau komputer nano berbasis biologi di Harvard University, sedang komputer kala itu masih ‘jadul’ dengan ukuran – ukuran besar.
Terdapat poin yang layak dicermati dalam riset tersebut terkait merebaknya Covid19 ini hari, bahwa nano computer selain bisa dimasukkan ke dalam tubuh manusia (melalui suntikan dll), juga si programmer bisa membuat program apa saja sesuai keinginan. Itulah riset di Harvard tempo lalu tentang komputer nano.
Entah hasil risetnya seperti apa, hingga sekarang tidak ada berita. Itulah tiga asumsi yang merupakan pokok narasi dari analisis penulis di bawah ini.
(Bersambung ke-3)