ilustrasi
Sampailah pada simpulan tulisan ini. Flashback sebentar tentang rujukan yang mengembang, antara lain yaitu: 1 analisis Sylvain Lafores bertajuk: “Putin and Trump vs The New World Order: The Final Battle”; 2 kajian penulis berbasis data dan fakta empiris (empirical facts) selaku research associate di GFI; 3 poin-poin lain yang muncul dalam pembahasan.
Simpulan bukan ringkasan, bukan pula resume. Tetapi, (penulis) mencoba menarik benang hikmah atas pembahasan yang berkembang saat diskusi berbasis empirical facts, yaitu merangkai dan/atau mengaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain sehingga sesuatu yang samar atau remang – remang akhirnya terlihat dan dapat ‘dibaca’. Selanjutnya soal akurat atau tidaknya pointers, selain tergantung ketajaman serta kedalaman diskusi, juga ketepatan memilih pisau analisis turut mempengaruhi.
Adapun pointers diskusi adalah sebagai berikut:
Pertama: bahwa dominasi dolar selaku alat transaksi global (currency world) diprakirakan mengalami hiper-inflasi, cenderung bangkrut, oleh karena sudah ada penolakan dari beberapa negara terhadap dolar selaku currency world pada satu pihak, sedang di pihak lain, pengglobalan dolar sesungguhnya cuma salah satu puzzle di antara sekian puzzle yang disusun kaum globalisme untuk mewujudkan New World Order (NWO) alias Tata Dunia Baru;
Kedua: negara paling keras menentang skema NWO adalah Rusia dan aliansi, terutama ketika Negeri Beruang Merah dipimpin oleh Vladimir Putin;
Ketiga: strategi Putin melawan skema NWO melalui tata cara sebagai berikut:
1) membangun kekuatan militer yang handal, canggih dan modern yang mampu melampaui daya gempur NATO;
2) mencampakkan dolar di setiap transaksi baik di dalam negeri Rusia maupun di negara aliansinya, ataupun saat melakukan traksaksi dengan negara lain;
3) menyingkirkan sistem perbankan yang dikontrol oleh Rothchild dan komplotannya.
Keempat: merebaknya pandemi (Covid19) dan segala keprotokolan adalah bagian dari strategi kaum globalisme untuk menunda kebangkrutan dolar, termasuk penerbitan cryto currency (uang digital) dengan aneka modus. Bahwa ajang “pesta dolar” telah mereka nikmati melalui:
1) sejak Bretton Woods Agreement (1944);
2) tatkala AS keluar secara sepihak dari Bretton Woods Agreement (1971); dan
3) diberlakukan Rezim Petro Dollar (1974) dimana dolar AS merupakan satu – satunya alat transaksi minyak di dunia.
Kelima: usai keluar dari Kesepakatan Bretton Woods, banyak negara mensinyalir bahwa dolar yang beredar merupakan ‘dolar bodong’ sebab diduga dicetak tanpa back up emas;
Keenam: dari perspektif geopolitik, 5G kini selalu dikaitkan dengan teknologi perang masa depan melalui sarana nirawak alias drone. Dan dalam praktik aplikasi 5G, Cina justru lebih maju ketimbang AS, meskipun dalam hal persenjataan dan riset virus (biological weapon), Paman Sam jauh melampui Cina;
Ketujuh: secara teori, gelombang 5G tidak bisa dibendung oleh teknologi secanggih apapun kecuali oleh virus. Maka, awal munculnya virus di Wuhan diduga adalah cipta kondisi guna mengkontra gerak laju 5G agar tak bisa dipancarkan kemana-mana —ini teknis dan taktis perang— dan Wuhan merupakan wilayah yang penuh dengan gelombang 5G di satu sisi, sementara di sisi lain, gelombang 5G justru membuat virus semakin aktif, bahkan bisa out of control.
Itulah pointers simpulan dari tulisan ini. Tidak ada gading yang tak retak. Masih banyak kelemahan serta kekurangan tulisan di sana-sini. Kritik dan saran sangat diperlukan untuk melengkapi agar kajian ini mendekati kebenaran.
Penulis menyadari, ada asumsi yang belum terbahas yaitu tentang riset nano biological computing di Harvard University. Bagaimana hasil riset; lantas, kini untuk apa?
Karena minimnya data, penulis menggunakan fakta empiris untuk menguaknya meski sangat sedikit. Ya. Adanya produksi vaksin dan vaksinasi dengan cara memasukkan chip ke tubuh manusia bukan sekedar ‘gothak – gathuk’ bahwa hasil riset di Harvard boleh jadi telah ‘dibeli’ oleh korporasi pembuat chip vaccines tadi.
Itulah metode empirical facts dalam membuat terang suatu hal yang remang agar menjadi terang dan dapat dibaca publik melalui rangkaian atau mengkaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain.
Pasca-Cold War, geopolitik memberikan semacam warning kepada publik global, bahwa kelak ancaman keamanan usai Perang Dingin akan mengalami transformasi. Kedepan, bakal muncul ancaman dalam bentuk baru:
” ..bukan berupa serangan militer yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor dan ditujukan kepada state actor maupun individu atau warga negara yang mengancam keamanan umat manusia (human security).. “.
Merujuk judul tulisan ini: Siapa Pembuat dan Penebar Covid-19? Maka di ujung catatan ini, sudah bisa diduga serta disimpulkan, bahwa pembuat dan penebar Covid19 bukanlah suatu negara (state actor).
Sekali lagi, pembuat dan penyebar Covid19 bukanlah negara-negara seperti Cina, misalnya, atau Rusia, Israel, ataupum Iran dan bukan pula AS. Akan tetapi, biang keladi semua adalah aktor nonnegara atau istilah kerennya: non-state actor.
Ya. Para aktor ini, selain bisa menginduk pada negara manapun karena faktor kapital, disebut juga sebagai bangsa cloud (awan) atau “bangsawan”. Mereka hampir tidak mengenal teritori dan rezim negara.
Menurut John Perkins, mereka tak dipilih oleh rakyat namun memiliki kekuasaan yang tidak dibatasi hukum dan UU, bergerak di antara media, bisnis dan pemerintahan.
Nah, Let them think let them decide … (TAMAT)
Penulis:  M. ARIEF PRANOTO, Research Associate at Global Future Institute