OLEH M ARIEF PRANOTO
Global Future Institute
Industri pertahanan kekayaan atau wealth defence industry itu istilah yang dilontarkan oleh Prof Jeffry Winters. Istilah unik tersebut, oleh Winters dipakai untuk memotret dinamika oligarki dalam politik (praktis). Bahwa para oligarki kini tak lagi bermain di balik layar, namun telah terang-terangan ikut kontestasi baik sebagai anggota parlemen misalnya, atau mencalon walikota, menjadi gubernur, menteri, bahkan presiden.
Melalui wealt defence industry, kemungkinan ia melukis kiprah oligarki di negeri asalnya —Amerika— meski Winters tidak menyebut negeri mana. Tetapi, hal itu bisa saja diterapkan dimana saja mengingat universalitas teori (ilmu) meskipun masih relatif. Ya. Kebenaran teori memang bersifat nisbi —relatif— ia bergerak sesuai tuntutan zaman.
Dengan demikian, istilah invisible hands (tangan – tangan tersembunyi) dalam konstelasi (geo) politik tidak lagi tabu untuk diperbincangkan karena mereka terang-terangan ikut kontestasi dalam rangka mengusung (mengamankan) kepentingannya.
Inilah —barangkali— salah satu fabrikasi dalam industri pertahanan kekayaan. Si owner turun langsung!
Ya. Owner atau pemilik hajatan yang lazimnya meremot/mengendalikan pagelaran dari balik layar —selama ini— dan tersamar dengan berbagai julukan, sekarang tak lagi bersembunyi dan tersembunyi. Hidden agenda pun menjadi tidak aneh jika dibicarakan di ruang publik.
Dulu, jangankan menguak siapa pemilik hajatan dari sebuah pagelaran (peristiwa), sedang untuk mengetahui siapa ‘dalang’ di balik peristiwa saja susahnya bukan main.
Ya dulu, jika ingin menguak siapa dalang di balik peristiwa, pasti akan muncul beragam kontra, contohnya, atau false flag guna mengaburkan peristiwa dst. Kini justru sebaliknya, jangankan si dalang — pemilik hajatan pun sudah nongol sendiri melalui kontestasi politik.
Ya. Wayang – dalang – dan pemilik hajatan. Itulah tiga entitas —satu tarikan nafas— yang kerap melekat pada fenomena politik baik lokal, regional maupun global. Wayang terserah dalang, dan dalang tergantung pemilik hajatan. Itu kredo yang diyakini.
Tampaknya kini, di tengah kemajuan iptek — terutama digitalisasi peradaban yang hampir menerjang semua aspek. Dunia abu-abu mulai tampak warna-warninya. Tapak siapapun bisa dilacak karena jejak digital berserak. Tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi kaum oligarki, pemilik hajatan.
Tatkala KPK meng-SP3-kan (henti sidik) kasus BLBI yang jelas merampok uang rakyat, misalnya, itulah ‘kematian kecil’ penegakkan hukum yang dijalankan oleh KPK di satu sisi, sementara Keppres No 6/2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI diteken Presiden Jokowi pada sisi lain. Ada sekitar Rp 108 triliun bakal ditagih oleh satgas tersebut. Keppres No 6 di atas adalah ujud negara hadir.
Jadi, apapun alasan teknis-taktis yang disuarakan sebagai dalih KPK, tidak ada kalimat lain kecuali ucapan bela sungkawa atas ‘kematian’-nya — semoga arwahnya diterima oleh pemilik modal.
Lagi-lagi, mungkin hal itu juga fabrikasi dari industri pertahanan kekayaan sebagaimana isyarat Prof Winters, selain keikutsertaan mereka dalam kontestasi politik (praktis).
Pada hakikatnya, perampok uang rakyat adalah pencuri masa depan anak bangsa. Apapun modus dengan ragam fabrikasi di atas, intinya agar mereka tetap berdiri di atas perputuasi kebhinnekaan (tunggal ika) dalam rangka mengamankan kekayaan yang dicurinya dari lumbung rakyat.
Dan memang, kata Niccolo Machiavelli dalam doktrin politiknya: “Tujuan menghalalkan segala cara!” (1469 – 1527). Kontranya adalah: “Negara wajib hadir demi anak bangsa yang masa depannya telah dicuri oleh alumni BLBI”.
End__