Sitok-SrengengeJAKARTASATU.COM – Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan aktivis komunitas Salihara, Sitok Srengenge, terhadap mahaisiswi Universitas Indonesia terancam diberhentikan oleh pihak kepolisian. Alasannya: tidak terdapat bukti fisik yang cukup kuat pada korban. “Padahal, seperti yang sudah dijelaskan kemarin, tindakan pemerkosaan tidak selamanya selalu meninggalkan bukti fisik,” demikian diutarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia lewat akun Twitter mereka. Atas dasar itulah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia pada Kamis pagi besok (14/8) berencana melakukan audiensi dan melakukan aksi unjuk rasa ke Polda Metro Jaya agar kasus ini dituntaskan. Mereka juga menyerukan agar seluruh mahasiswa Universitas Indonesia untuk ikut mendukung aksi ini. “Mahasiswa Universitas, kita akan bersama-sama menekan pihak kepolisian dan mengadvokasikan kasus ini agar segera diusut hingga tuntas dan mengadiliSitok!” ujar mereka. Sebab, lanjut mereka, tindakan yang dilakukan Sitok merupakan soft rape, yaitu tindak pemerkosaan secara halus. “Sudah jelas, Sitok harus diadili! Oleh karena itu, kami mengajak teman-teman untuk membantu proses pengawalan kasus ini,” seru mereka. Sebelumnya, pada awal Desember 2013 lalu, Solidaritas Alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia juga menyerukan agar masyarakat memberikan sanksi sosial kepada Sitok Srengenge. Solidaritas alumni itu antara lain menyatakan bahwa Sitok Srengenge sempat menghindari tanggung jawab dan mencoba membungkus kejahatannya sebagai tindakan yang berlandaskan perasaan suka sama suka. Berikut isi lengkap siaran pers solidaritas yang awalnya dibentuk oleh sekitar 60 orang itu. 1. Kami mengecam tindakan kekerasan sexual yang dilakukan oleh Sitok Srengenge terhadap mahasiswi FIB UI, mengingat tindakan tersebut sangat melukai, merugikan, bahkan merusak masa depan korban. Sitok Srengenge sempat menghindari tanggung jawab dan mencoba membungkus kejahatannya sebagai tindakan yang berlandaskan perasaan suka sama suka. Sebagai seorang penyair, Sitok Srengenge seharusnya paham bahwa kekerasan sexual adalah tindakan yang berlawanan dengan kemanusiaan, tetapi ia justru memanfaatkan posisinya sebagai tokoh, penyair, dan kurator lembaga kebudayaan Salihara untuk menjerat korban. Sampai sekarang Sitok belum mengakui tindakan yang ia lakukan sebagai sebuah kesalahan. 2. Kami menyatakan dukungan moral dan material sepenuhnya kepada korban untuk menjalani proses hukum dan sosial, serta berharap korban akan mendapatkan keadilan. Kami mengagumi keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan ini dan menyadari bahwa perempuan sebagai korban kekerasan menghadapi banyak hambatan dari dalam diri dan lingkungan sekitar untuk sekadar mengungkapkan kekerasan yang telah terjadi. 3. Kami mendorong penyelesaian kasus ini melalui jalur hukum. Meski demikian kami tahu bahwa sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dalam menjamin perwujudan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, keadilan bagi korban mungkin perlu dicapai dengan cara-cara lain, misalnya sanksi sosial bagi Sitok Srengenge. 4. Kami menyerukan agar korban-korban kasus kekerasan seksual untuk berani mengungkapkan tindakan kekerasan yang menimpa diri mereka. Kekerasan sexual merupakan tindakan kejahatan yang boleh dibilang sangat terselubung karena banyak korban tidak berani melapor, bahkan cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki di mana di dalamnya berlaku relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-kaki. Bagi kami kekerasan sexual bukan semata-mata persoalan moral individu, melainkan sesuatu yang bersumber dari ketimpangan relasi tersebut. 5. Kami mengecam Salihara yang tidak tegas menindak Sitok Srengenge, atas penyalahgunaan nama institusi oleh dirinya sebagai kurator Salihara, untuk memperdayai korban. Salihara telah sangat menyepelekan masalah yang ditimbulkan oleh Sitok Srengenge, yang membawa nama Salihara dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan. Salihara, yang mengklaim diri hendak “Bersama Publik Merawat Kebebasan”, nyata-nyata melakukan pembiaran atas tindakan kekerasan sexual yang dilakukan seorang kuratornya. Tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap kebebasan sehingga jelas bahwa Salihara telah gagal merawat kebebasan di dalam lingkungan lembaga itu sendiri. Kami mengecam keras tindakan sebagian anggota Salihara yang membodohi publik dengan mengkampanyekan bahwa tindakan tersebut adalah tanggung jawab individu yang terlepas dari institusi, dengan hanya berpijak pada pengakuan Sitok Srengenge tanpa mendengar kesaksian korban. 6. Kami menghargai liputan media yang mengangkat kasus ini sehingga publik mengetahuinya. Namun kami mencatat ada pola pemberitaan beberapa media yang tidak peka terhadap kasus ini, juga tidak bersimpati terhadap kondisi korban. Bahkan beberapa media tersebut sempat menyebarkan identitas korban, tindakan yang membuahkan teror terhadap korban, keluarga, dan teman-teman terdekatnya. Kami menilai bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya tidak menjadi komoditas industri media. 7. Kami menyerukan agar lingkungan akademik dan masyarakat luas menghentikan penghakiman terhadap korban. Kekerasan seksual merupakan pengalaman buruk yang sangat berat ditanggung oleh korban, masyarakat hendaknya menunjukkan solidaritas dan membantu korban menjalani proses pemulihan alih-alih menciptakan lingkaran kekerasan berikutnya secara psikis dan verbal. 8. Kami menyerukan kepada otoritas kampus FIB UI supaya memberikan dispensasi akademik kepada korban berupa cuti (di luar cuti terhitung) selama proses hukum berlangsung sampai ada keputusan in kracht sebagai salah satu bentuk dukungan kepada korban. (sumber DJE/ASN-010/ASATUNEWS/JKTS)