JAKARTASATU.COM – Mungkin belum banyak yang tahu, sebenarnya rencana awal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukan di rumah Bung Karno di Jalan Peganggsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi), tapi di Lapangan Ikada (Lapangan Monas sekarang). Demikianlah keputusan yang dibuat di rumah Laksamana Maeda (sekarang menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat). Persiapan sudah dilakukan, yakni dengan mengutus beberapa orang—antara lain Soediro—untuk menginformasikan kepada berbagai pihak yang diharapkan hadir, seperti tokoh-tokoh pergerakan dan segenap eksponen Barisan Pelopor: akan ada upacara penting di Lapangan Ikada pada pukul 11.00. Informasi ini disampakan juga lewat telepon dan surat yang dibawa kurir.

Ternyata, informasi ini telah diketahui pihak Jepang, yang sebenarnya pada tanggal 15 Agustus 1945 telah takluk kepada Tentara Sekutu. Maka, terjadilah perubahan rencana. Dalam waktu singkat pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945 itu, beberapa orang pejuang segera bergerak kembali untuk mengabarkan perubahan rencana tersebut. Upacara penting dipindahkan ke rumah Soekarno, Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56.

Tentu saja, kerepotan terjadi juga di rumah Soekarno. Beberapa orang sibuk memasang mikrofon dan versterker (amplifier), yang baru disewa dari perusahaan jasa penyewaan sound system Radio Satrija, di Jalan Salemba Tengah Nomor 24. Tiang bendera pun dibuat dari sebatang bambu yang ditancapkan di muka kamar depan rumah Soekarno, beberapa menit sebelum upacara dimulai. Setelah siap, upacara dimulai, tanpa adanya protokol terlebih dahulu.

Penaikan Sang Saka Merah-Putih dilaksanakan setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi didamping Bung Hatta dan Bung Karno berpidato singkat. Yang diminta menjadi “petugas penaikan bendera” adalah Trimurti, tapi dia menolak dan mengusulkan agar penaikan itu dilakukan seorang prajurit. Serta-merta, Latif Hendraningrat yang masih memakai seragam lengkap Pembela Tanah Air maju ke depan sampai dekat tiang bendera. Lalu datanglah dua orang membawa Sang Saka Merah-Putih yang diletakkan di atas nampan dan kemudian dinaikkan. Tanpa aba-aba, yang hadir dalam upacara tersebut langsung menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Berkibarlah Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya di masa Indonesia merdeka.

Setelah upacara selesai ada kejadian lucu. Tiba-tiba datang kurang-lebih seratus orang anggota Barisan Pelopor, yang dipimpin S Brata. Rupanya, mereka tidak tahu adanya perubahan rencana lokasi upacara dari Lapangan Ikada ke rumah Bung Karno, sehingga datang terlambat. Mereka lalu meminta Bung Karno untuk mengulangi upacara dan membacakan kembali Proklamasi Kemerdekaan.

Bung Karno yang telah masuk kamar pun lalu ke luar kembali. Ia menyatakan lewat mikrofon bahwa pembacaan Proklamasi tidak dapat diulang.

Mengapa Bung Karno masuk kamar setelah upacara tersebut? Secara fisik, Bung Karno memang kelelahan. Beberapa hari sebelumnya, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur diculik sekelompok pemuda radikal dan dibawa ke Rengasdengklok, Krawang, Jawa Barat. Mereka baru diantarkan kembali ke Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945 malam hari dan Bung Karno langsung rapat di rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan naskah Proklamasi.

Menurut Roso Daras, penulis buku Bung Karno: The Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer (2009), subuh tanggal 17 Agustus 1945, dalam keletihan yang teramat sangat, Bung Karno pulang dalam keadaan menggigil. Malarianya kumat. “Terlebih dua hari dua malam ia tidak tidur. Hanya air soda dan air soda yang diminum untuk menyegarkan mata,” ungkap Roso, seperti yang ia tulis dalam blog-nya, http://rosodaras.wordpress.com.

Melihat kondisi suaminya, Ibu Fatmawati tampak cemas. Tapi, “Tanpa banyak kata, Bung Karno bukannya merebahkan badan, melainkan berjalan menuju meja tulis. Diambilnya kertas dan pena, lalu ia menulis berlusin-lusin surat,” tutur Roso. Dan, Bung Karno melakukan itu dalam keadaan menggigil karena demam malaria. Setelah itu barulah ia tidur dan dibangunkan sekitar satu jam menjelang upacara Proklamasi, kurang-lebih pukul 09.00 pagi.

Dalam buku Sukarno: an Autobiography as told to Cindy Adams (1965), Bung Karno mengatakan bahwa Ibu Fatmawati membiarkan dirinya tetap bekerja dalam keadaan mengigil akibat demam malaria karena cukup mengerti gejolak hati suaminya. Sementara itu, Ibu Fatmawati sendiri bukan berarti segar-bugar. Ia juga sebenarnya lelah, karena mengikuti seluruh dinamika menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Ibu Fatmawatilah yang membuat Sang Saka Merah-Putih, dengan jahitan tangan, untuk dikibarkan pada 17 Agustus 1945.

Tentu saja bendera itu sangat bernilai. “Sejak dikibarkan di Pegangsaan Timur 56, bendera itu pantang diturunkan. Pasukan Berani Mati yang dibentuk sehari setelah Proklamasi berjaga 24 jam, siap menghadang tentara Jepang jika mereka datang hendak menurunkannya,” ungkap Roso Daras.

Ketika Tentara Sekutu datang, bendera itu bahkan terus dijaga keberadaannya. Apalagi, Tentara Sekutu rupanya berminat memusnahkan Sang Saka Merah-Putih yang dibuat Ibu Fatmawati. Para pejuang kemerdekaan benar-benar melindungi Sang Saka Merah-Putih. Bahkan, dokter pribadi Bung Karno sendiri, Dokter Soeharto, tidak mengetahui keberadaannya sampai tahun 1949.

“Soeharto sendiri tidak tahu, di mana Sang Merah-Putih antara kurun 1945-April 1949. Yang jelas, malam itu, April 1949, ia kedatangan tamu misterius bernama Muthahar. Tokoh ini di kemudian hari sempat menjabat Duta Besar Republik Indonesia serta pemimpin Kwartir Nasional Pramuka. Malam itu, ia datang dengan menyelinap, takut tercium NICA. Di tangannya terpegang dua carik kain, merah di kanan, putih di kiri. Itulah Sang Saka Merah Putih, yang untuk tujuan pengamanan telah dilepas jahitannya dan diamankan sedemikian rupa sebagai sebuah benda mahapenting bagi tonggak berdirinya republik,” tutur Roso Daras.

Malam itu, Muthahar menitipkannya kepada Dokter Soeharto. Mendapat amanat penting, Soeharto menunaikannya dengan sangat hati-hati. Ia menyimpan potongan kain merah di satu tempat dan kain putih jauh di tempat lain. Itu dilakukan untuk menjaga kemungkinan penggeledahan oleh NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Tentara Sekutu yang ditugaskan mengontrol wilayah bekas jajahan Belanda yang pernah dikuasai Jepang—dan kemudian bernama Indonesia.

Terakhir, Sang Saka Merah Putih dikibarkan pada Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1968. Selanjutnya disimpan dan hanya dikeluarkan setiap tanggal 17 Agustus, namun tetap dalam kotak penyimpanannya. Yang digunakan pada upacara resmi kenegaraan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sejak tahun 1969 sampai sekarang adalah duplikatnya. Dan, upacara resmi kenegaraan tersebut dilakukan di Istana Merdeka, bukan di Tugu Proklamasi.

Sekali merdeka tetap merdeka! Kita tetap setia mempertahankan Indonesia!  Untuk melengkapi semua kami unduh pidato Kemerdekaan Bung Karno  silakan klik http://www.youtube.com/watch?v=sJEWnU3mybs

(sumber asatunewscom/JKTS)