Foto : Istimewa

MKJAKARTASATU.COM — Ada beberapa ahli berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan pemilihan presiden (pilpres) secara garis besar bisa berupa putusan akhir langsung atau bisa pula putusan sela. Semua itu didasarkan pada alat bukti sesuai fakta-fakta persidangan dan juga keyakinan hakim.

Putusan sela lazimnya adalah keluarnya suatu perintah untuk melakukan proses tertentu. Misalnya, kalau terkait dengan selisih angka, MK akan memerintahkan penghitungan ulang. Kalau terkait dengan kualitas pemilu, pelanggaran-pelanggaran kualitatif, MK mungkin akan memerintahkan pemungutan suara ulang.

Berdasarkan itu semua, menurut perkiraan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah-Jakarta yang juga peneliti dari Nusantara Institute, Pangi Syarwi Chaniago, ada tiga kemungkinan vonis atau amar putusan MK terkait sengketa pilpres, yang menurut jadwal direncanakan akan diumumkan pada 21 Agustus 2014.

“Pertama, MK mengabulkan permohonan gugutan Prabowo Hatta dengan membatalkan keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang benar menurut versi MK serta menyatakan Prabowo-Hatta menjadi presiden/wapres terpilih,” ujarnya.

Kedua, MK menolak permohonan pemohon dan menyatakan Jokowi-JK tetap sebagai presiden-wapres terpilih karena pihak Prabowo-Hatta tidak dapat membuktikan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. “Ketiga, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di daerah-daerah tertentu atau sebagian provinsi, bahkan seluruh wilayah Indonesia,” ungkapnya.

Pangi berpendapat, dari tiga opsi tersebut, yang paling masuk akal adalah opsi ketiga. “Namun, pelaksanaan pemungutan suara ulang bukan di seluruh TPS, tapi lebih banyak di beberapa provinsi. Di Papua kemungkinan bisa di semua TPS. Kalau amar putusan MK menolak seluruh permohonan Prabowo tentu saja bisa melukai rasa keadilan. Kecurangan sudah tampak nyata, maka pemilihan suara ulang adalah sebuah keniscayaan,” tuturnya.

Ia pun sependapat dengan ahli hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengenai pilpres substansial, yang menurut perspektif politik adalah pemilu yang diikuti penegakan hukum. “Kalau ada yang melanggar, harus diberikan sanksi, sehingga demokrasi tak kriminal. Hakim harus betul-betul memperhatikan substansi kecurangan. MK jangan terjebak pada angka-angka semata atau, seperti kata Pak Margarito Kamis, jangan jadi mahkamah kalkulator,” kata Pangi lagi.

Ia menilai, pemilu di Indonesia ini tampaknya sedang menuju liberal machiavellian election. “Pemilu terbuka namun penuh dengan tipu muslihat,” ujarnya. Contohnya, lanjutnya lagi, logistik pemilu tidak sampai namun ada hasil rekapitulasi pemilu di distrik induk, seperti kasus di Papua.

“Itu tampak nyata kecurangannya. Rakyat sengaja dibuat buta pemilu dan dibodohi karena masyarakat tak pernah disosialisasi untuk pilpres,” katanya.

Soal sistem noken di Papua, Pangi juga mengatakan publik tak pernah mempermasalahkan noken. “Namun, sistem noken itu tak memenuhi prosedur seperti pelaksanaan noken pada umumnya. Aktifitas noken cacat karena enggak ada musyawarah, kesepakatan, penuh intervensi, sehingga merugikan salah satu pasangan capres. Jadi, noken digunakan sebagai pembenaran  untuk melakukan kecurangan,” ujarnya.

Ia juga heran mengapa Komisi Pemilihan Umum memaksakan pengumuman hasil rekapitulasi pilpres pada tanggal 22 Juli 2014. “Kenapa KPU ngotot tanggal 22 Juli? Kalau kita cermati, Undang-Undang Pilpres memberi batas penyelesaian dengan waktu 30 hari setelah pemilihan. Namun baru 13 hari setelah pemilihan, di tengah banyak laporan dan keberatan proses rekap, anehnya KPU tetap ngotot mengumumkan hasil rekapitulasi pilpres pada 22 Juli 2014,” tutur Pangi. | sumber asatunewscom