Foto : Istimewa
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

Oleh Muhammad Adnan 

Tuntutan Kapolri Jenderal Sutarman agar Prof. Adrianus Meliala meminta maaf dan mencabut pernyataannya diseluruh media masa terutama disalah satu televisi berita nasional terkait pernyataannya tentang Bareskrim sebagai ATM pimpinan Polri adalah bentuk teror psikologis, intimidasi kekuasaan atas nama penegakan hukum. Dalam kapasitasnya berbicara sebagai anggota Kompolnas, tentu saja pernyataannya ini memiliki landasan hukum dan dilindungi UU sehingga ancaman Kapolri melanjutkan proses hukum ke pengadilan bila menolak meminta maaf ibarat jeruk makan jeruk, karena tugas, fungsi serta peran Polri dan Kompolnas sama sama di atur dalam UU tentang Kepolisian.

Tidak fair dan bias dong, bila polisi memproses sendiri kasus hukum yang terkait dengan dirinya sendiri, toh Kejaksaan Agung juga diberi kewenangan memproses hukum untuk menghindari konflik kepentingan.
Bila Sutarman mengatakan atas namakan 450 ribu polisi bahwa tidak ingin institusinya diinjak-injak, logikanya tidak hanya mempersoalkan Prof Adrianus saja. Tudingan Letjend (Purn) Yunus Yosfiah, ketua tim perjuangan merah putih untuk kebenaran dan keadilan tentang pertemuan Sutarman dan Kapolda Metrojaya bersama Megawati di Teuku Umar pada 11 Juli 2014, dua hari paska pemilihan Presiden, harusnya juga di persoalkan karena menyangkut netralitas Polri dan kepentingan yang lebih besar menyangkut legitimasi kepemimpinan nasional.
Sudah seharusnya Presiden SBY turun tangan sebelum persoalanya menjadi melebar kemana-mana. Menjadi tanya besar publik, mengapa presiden SBY bisa tegas kepada mantan Kasad Jenderal TNI Budiman, tetapi berbeda sikap bila dengan Kapolri.
*) kolom ini dimuat di situs Gebraknews.com