Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

JAKARTASATU —– Kejahatan bisa terjadi di mana saja, termasuk di Kepolisian Republik Indonesia atawa Polri. Karena itu, wajar jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menginginkan Kepala Polri memberikan penghargaan kepada Brigadir Polisi Rudy Soik yang dinilai berani mengungkap dugaan praktik penyimpangan di jajaran institusi Polri.

“Bila semangat Kapolri adalah meningkatkan profesionalisme dan integritas institusi, orang seperti Brigpol Rudy harus mendapatkan reward,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam rilisnya, Sabtu (30/8).

LPSK memberikan apresiasi kepada Kapolri Jenderal Polisi Sutarman untuk memerintahkan jajarannya menggelar perkara atas laporan penyidik pada Direktorat Kriminal Khusus Polda Nusa Tenggara Timur Brigpol Rudy Soik atas dugaan penghentian kasus penyidikan TKI ilegal oleh atasannya. Menurut Edwin Partogi, kebijakan tersebut patut diberikan pujian karena dinilai merupakan sebuah terobosan yang dilakukan oleh pemimpin institusi Polri.

Ia juga memberikan apresiasinya kepada Brigpol Rudy Soik, yang berani mengungkap dugaan praktik penyimpangan di lingkungan kerjanya. Polri, tambahnya, harus menjadikan kasus Rudy ini, sebagai momentum untuk menciptakan kebijakan pengawasan dan sistem whistleblower yang sistematis dan terukur di internal mereka.

“Ini merupakan preseden yang positif bagi kepolisian dan ke depan Polri tidak hanya menindaklanjutinya secara ad hoc, tetapi dirumuskan dalam kebijakan institusi dalam rangka pengawasan dan pembenahan untuk menunjang profesionalisme dan integritas Polri,” katanya.

Edwin mengemukakan, Polri harus memberikan jaminan untuk tidak menjatuhkan sanksi terhadap Rudy karena dikhawatirkan akan memudarkan keberanian petugas kepolisian lainnya untuk berani mengungkapkan dugaan penyelewengan yang terjadi di lingkungan kerjanya.

“LPSK meminta kepolisian tidak menjatuhkan hukuman kepada Rudy Soik, karena keberaniannya membongkar dugaan penyimpangan yang terjadi di lingkungan kerjanya,” ujar Edwin.

Sebagai institusi yang diberikan mandat oleh Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK menyatakan siap memberikan perlindungan terhadap whistleblower di lingkungan kepolisian.

Sebelumnya, LPSK pada Rabu (27/8) mendampingi Brigpol Rudy Soik ketika menjalani gelar perkara di Bareskrim Mabes Polri.

Dukungan kepada Rudy Soik juga datang dari organisasi masyarakat sipil di Nusa Tenggara Timur.

Sementara itu, di Polda Jawa Barat, perwira polisi diduga menerima suap atau dugaan tindak pidana korupsi dalam proses penanganan perkara tindak pidana perjudian online. Mereka adalah AKBP MB selaku Kasubdit III dan AKP DS selaku Panit II Subdit III Ditreskrimum Polda Jawa Barat. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Ronny Sompie, tak tertutup kemungkinan Kepala Polda Jawa Barat juga akan diperiksa. “Kalau ada pasti kami sampaikan. Kapolda diperiksa itu tergantung keterangan tersangka,” ujar Ronny pada Senin lampau (18/8). Namun, ia juga mengatakan, dalam kasus korupsi tidak selalu pimpinan bertanggung jawab.

Komisoner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala sempat mengomentari kasus judi online itu. Namun, oleh pihak Polri, komentar Adrianus itu dianggap fitnah. Malah, Kapolri Jenderal Sutarman memerintahkan anak buahnya agar memeriksa Adrianus.

Menanggapi hal tersebut, Indonesia Police Watch (IPW) menilai lembaga Polri semakin otoriter dan tidak bisa lagi dikritik. Ketua Presedium IPW Neta S Pane mengatakan, kasus kriminalisasi pada Adrianus menunjukkan bahwa elite Polri semakin arogan. Untuk itu, Menko Polhukam sebagai Ketua Kompolnas harus segera turun tangan untuk mengatasi masalah ini.

“IPW menyayangkan sikap elite Polri yang melaporkan Adrianus ke Bareskrim terkait tudingan ‘ATM Polri’ saat menanggapi kasus AKBP MB yang menjadi tersangka suap bandar judi di Bandung di salah satu stasiun televisi swasta,” ujar Neta di Jakarta. Lebih lanjut ia menilai, laporan tersebut menunjukkan elite Polri tidak menghargai lagi keberadaan Kompolnas sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi kepolisian. Elite Polri juga tidak lagi peduli bahwa Adrianus pernah menjadi staf ahli Kapolri untuk tiga Kapolri.

“Seharusnya, elite Polri introspeksi dengan adanya kritik  Adrianus yang memang punya kapasitas untuk itu. Jika elite Polri mau bersikap jujur, sangat banyak kasus dugaan suap dan korupsi yang melibatkan internal kepolisian, mulai dari anggota terbawah Polri hingga jenderal Polri diduga terlibat suap dan korupsi, tapi kasusnya cenderung ditutupi,” kata Neta.

Jadi, apa yang dikritisi Adrianus adalah fakta yg harus diperbaiki Polri. Sangat disayangkan jika orang yg mengkritisi justru dikriminalisasi elite Polri. Untuk itu, IPW menyerukan masyarakat dan pemerintah SBY melakukan perlawanan terhadap aksi kriminalisasi elite Polri terhadap Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Kriminalisasi Kompolnas bertemu dengan salah seorang Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala untuk memberikan dukungan moralnya.

Neta menduga, perseteruan itu mengemuka lantaran terjadinya perbedaan pandangan kedua lembaga ini terkait Revisi Undang-Undang Kepolisian. Sebab, selama ini, Kompolnas berkeras Polri berada di bawah kementerian, sementara Polri tetap tetap ingin di bawah presiden.

“Ini dijadikan celah polisi, sebab Pak Adrianus orang di balik isu itu,” kata Neta.

Koordinator Nasional Relawan Gema Nusantara, Muhamad Adnan, juga mengatakan tindakan Kapolri yang menginstruksikan anak buahnya melakukan pemeriksaan terhadap  Adrianus Meliala sangat jelas sebagai sebuah tindakan inkonstitusional dan melanggar undang-undang. Karena, kata Adnan, tugas, fungsi, dan kewajiban Kompolnas sesuai undang-undang adalah mengawasi kinerja kepolisian.

“Tugas ini dilaksanakan bila menerima laporan atau keluhan masyarakat tentang kinerja atau tindak tanduk anggota kepolisian dalam melaksanakan proses penegakan hukum dan pelindung masyarakat,” tutur Adnan. | (ASN-DJE/JKST-TOM)