JAKARTSATU — Mencuatnya kembali dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada tukar guling (ruislag) lahan fasilitas sosial/fasilitas umum, yang merupakan kewajiban pengembang (developer) terhadap penyediaan fasilitas sosial dan umum kepada Pemda DKI Jakarta, dipicu pernyataan gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bahwa seluruh masalah terkait dengan tukar guling itu sudah diselesaikan secara tuntas.

Benarkah pernyataan Jokowi mengenai telah tuntasnya (clear and clean) masalah yang ada pada ruislag pada kewajiban fasos dan fasum kepada Pemda DKI Jakarta itu?

Menurut Faisal Assegaf dari Progres 98, kasus tukar guling tanah Pemda DKI Jakarta dengan PT Agung Podomoro sampai hari ini (15/9) belum selesai. Belum ada penggantian tanah sebagaimana disepakati dalam ruislag oleh PT Agung Podomoro kepada Pemda DKI Jakarta.

“Pernyataan Jokowi tidak benar. Penipuan dan kebohongan publik. Tapi, bagus kalau begitu. Artinya KPK dan kejaksaan segera usut korupsi pada ruislag itu dan segera tetapkan para tersangka korupsinya,” ujar Faisal di Jakarta, Senin (15/9).

Untuk mengetahui permasalahan seputar kesepakatan tukar guling Pemda DKI Jakarta dengan PT Agung Podomoro, berikut disampaikan kronologi dan fakta-fakta hukumnya.

1. Pada tahun 2005 timbul rencana Pemda DKI Jakarta untuk memindahkan lokasi kompleks Taman dan Stadion Sepakbola Lebakbulus-Jakarta ke lokasi lain yang lebih representatif dan memadai. Gubernur DKI Sutiyoso mengatakan lokasi dan luas area fasilitas sosial dan umum warga DKI Jakarta itu sudah tidak ideal.

2. Bahwa  rencana pembangunan Stadion dan Taman Bersih Manusiawi Berwibawa (selanjutnya disingkat stadion BMW) di Jakarta itu pada pengadaan lahannya diusulkan dari kewajiban para pengembang properti (developer) di Jakarta, yang masih menunggak atau memiliki utang penyerahan fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasum dan fasos) kepada Pemda DKI Jakarta.

3. Berbagai pendapat dan argumentasi yang menolak rencana Gubernur Sutiyoso itu telah diungkapkan ke publik, terutama menyangkut penetapan nilai kewajiban developer, status lahan yang diserahkan untuk lokasi Stadion dan Taman BMW, proses dan mekanisme tukar guling (ruislag), dan lain-lain.

4. PT Agung Podomoro pada awalnya mengaku sebagai ketua konsorsium atau koordinator dari tujuh perusahaan pengembang properti di Jakarta, yang telah menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta. Lahan pengganti yang disyaratkan Pemprov DKI Jakarta adalah seluas 26,5 hektare senilai Rp 737 miliar pada tahun 2007.

5. Ternyata pengakuan PT Agung Podomoro bohong belaka. Keenam perusahaan lain, semua mengaku tidak terlibat, ikut, atau tergabung dalam konsorsium yang diklaim PT. Agung Podomoro. Artinya, secara hukum, kesepakatan ruislag yang ditandatangani Pemda DKI Jakarta dan PT Agung Podomoro batal demi hukum.

6. Namun, Pemda DKI Jakarta cq Gubernur Sutiyoso tetap menganggap ruislag sah dan tetap dilaksanakan. Meski begitu, PT Agung Podomoro tetap tidak mampu penuhi kewajibannya menyediakan lahan pengganti fasos dan fasum seluas 26,5 hektare tersebut.

7. Tanpa diketahui publik, DPRD, dan pihak terkait, PT Agung Podomoro tiba-tiba mengklaim pihaknya sudah menyelesaikan penyerahan lahan pengganti seluas 26 hektare kepada Pemda DKI Jakarta.

8. Gubenur Fauzi Bowo, pengganti Sutiyoso, tidak bersedia mengakui penyerahan tanah 26 hektare sebagaimana dimaksud oleh PT Agung Podomoro. Fauzi Bowo menilai banyak ketidakbenaran dan penipuan dalam penyerahan tanah pengganti 26 hektare itu.

9. Sesuai ketentuan, kewajiban fasus fasum dapat diberikan oleh tujuh pengembang kepada Pemprov DKI dengan tidak harus berupa uang tunai, namun dapat berupa lahan yang telah dibebaskan/dibeli oleh pengembang dengan sama nilainya dengan utang uang senilai Rp 737 miliar (2007).

10. Bahwa menurut pengakuan sepihak PT Agung Podomoro, ketujuh pengembang ini sepakat tidak membayar kewajibannya itu kepada Pemprov DKI Jakarta dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk lahan;

11. Berdasarkan ketentuan, setelah dibeli oleh pengembang, lahan pengganti utang uang tersebut wajib disertifikatkan oleh pengembang itu sendiri. Setelah disertifikasi baru dapat diterima dan diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta

12. Menurut pengakuan PT Agung Podomoro,  oleh ketujuah pengembang ini telah dibebaskan lahan seluas 26,5 hektare, terletak di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjungpriok, Jakarta Utara, dan telah diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta, diterima oleh Gubernur Sutiyoso dari Dirut PT Agung Podomoro pada Juli 2007 atau dua bulan sebelum Sutiyoso lengser.

13. Nilai tanah yang diserahkan tujuh pengembang yang mengaku telah membeli/membebaskan lahan seluas 26,5 hektare itu sekitar Rp 2,6 juta per meter atau Rp 737 miliar dari pihak pemilik asli/penggarap lahan.

14. Bahwa penyerahan kewajiban fasos/fasum diterima oleh Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur Sutiyoso dalam Berita Acara Serah Terima (BAST). Berita acara ini ditandatangani langsung oleh Sutiyoso selaku Gubernur dan Triatma selaku Dirut PT Agung Podomoro;

15. Namun ternyata, fasum dan fasos yang diserahkan tujuah pengembang tidak bersertifikat, meski di dalam klausul BAST disebutkan lahan dijamin oleh pengembang tidak dalam keadaan bersengketa;

16. Bahwa isi Berita Acara Serah Terima (BAST) tersebut juga berisi ketentuan kewajiban PT Agung Podomoro dan enam pengembang lainnya sebesar Rp 737 miliar telah dinyatakan lunas kepada Pemprov DKI Jakarta.

17. Setelah tujuh tahun sejak BAST, muncul berbagai permasalahan terkait lahan pengganti fasos dan fasum, yang disebabkan akibat fakta-fakta dan berbagai kejanggalan serta pelanggaran hukum terkait lahan dan BAST.

image_25Pelanggaran dan permasalahan hukum terkait lahan dan BAST sebagai berikut.

1. BAST melanggar ketentuan yang mewajibkan lahan pengganti fasos dan fasum yang akan diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta harus telah memiliki sertifikat Badan Pertanahan Nasional (BPN).

2. Bahwa Pemprov DKI sebelum menerima penggantian fasos dan fasum, terlebih dulu harus melakukan penilaian terhadap harga tanah yang akan diserahkan pengembang dan melakukan verifikasi terhadap seluruh aspek legalitas lahan pengganti, terutama sertifikasinya.

3. Fakta bahwa lahan pengganti yang diberikan oleh pengembang (PT Agung Podomoro) tidak bersertifikat, cacat hukum, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan aspek legal dan nilai harganya.

4. BAST hanya ditandatangani oleh PT Agung Podomoro, tanpa ada tanda tangan dari enam pengembang lain.

5. Bahwa sebagian besar lahan pengganti yang diserahkan PT Agung Podomoro ternyata adalah aset atau lahan milik Pemprov DKI.

Dari uraian di atas, sangat kuat bukti indikasi telah terjadi kolusi dan korupsi terkait penyerahan lahan pengganti fasos dan fasum oleh PT Agung Podomoro kepada Pemprov DKI Jakarta.

Akibat dari kolusi dan korupsi itu, negara dirugikan sedikitnya Rp 737 miliar.

Pernyatan Gubernur DKI Jakarta bahwa semua permasalan terkait penyelesaian kewajiban penyerahan fasos dan fasum oleh pengembang (PT Agung Podomoro) telah dituntaskan berbanding terbalik dengan fakta sebenarnya. Patut diduga Gubernur Jakarta Joko Widodo telah melakukan kolusi dan korupsi bersama mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Trihatma Kusuma Haliman, dkk.(sumber asatunews/JKT)