JAKARTASATU — Pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama yang mengalihkan dugaan korupsi Taman BMW sebesar Rp 737 miliar pada tahun 2007 (nilai sekarang sekitar Rp 2 triliun), dengan mengatakan tidak ada masalah hukum atau masalah hukumnya sudah selesai, merupakan upaya menutup-nutupi korupsi oleh Trihatma Kusuma Haliman (PT Agung Podomoro Land) dan Sutiyoso (mantan Gubernur DKI Jakarta).
Upaya Wagub Basuki T Purnama itu dinilai wajar karena Basuki diduga juga terlibat dalam korupsi itu. Pada tahun 2007 lalu, Basuki Tjahja Purnama menjabat sebagai staf khusus Gubernur Sutiyoso, merangkap sebagai konsultan PT Agung Podomoro Land.
Basuki T Purnama mengatakan, surat ahli waris tanah palsu dan sudah dihukum. Padahal, sudah terbukti peradilan terhadap para ahli waris tanah yang diklaim Pemprov DKI sebagai lokasi lahan Taman BMW adalah peradilan sesat. Sangat kuat indikasi suap, mulai dari oknum polisi hingga majelis hakim.
Di samping itu, persoalan korupsi yang merugikan Pemprov DKI Jakarta Rp 737 miliar itu bukan terkait masalah surat tanah. Juga bukan masalah itu tanah siapa dan bukan apakah sudah dihukum atau belum. Tetapi, yang menjadi persoalan korupsi, benarkah kesepakatan penyerahan fasos/fasum yang dibuat antara penyelenggara negara dan pengembang? Apakah ada kolusi? Sesungguhnya sangat jelas, obyek dugaan kolusi dan korupsi di sini adalah BAST, SPH, dan daftar aset.
Dugaan Kolusi dan Korupsi Sutiyoso-Trihatma Haliman di Taman BMW
Berdasarkan keterangan mantan Wagub DKI Jakarta Mayjen (Purn) Prijanto, kolusi dan korupsi Taman BMW bukan karena adanya penggunaan dana APBD, melainkan terletak pada “kesepakatan” antara penyelenggara negara dan pengembang, yang menghasilkan Berita Acara Serah Terima (BAST) dengan Surat Pelepasan Hak (SPH) dan masuknya Taman BMW dalam aset Pemprov DKI Jakarta inilah bukti telah terjadi kolusi dan korupsi.
Data yang mengarah dugaan terjadinya kerugian negara antara lain sebagai berikut.
Di dalam BAST, berjudul “Tanah yang terletak di Jalan Rumah Sakit Koja Kelurahan Papanggo dan Sunter Agung,…” Artinya, inilah alamat tanah yang diserahterimakan.
Di dalam BAST, Pasal 1, tanah yang diserahkan di Jalan Rumah Sakit Koja, Kelurahan Papanggo dan Sunter Agung, Luas 265.335,99 m2 dengan nilai aset Rp 737.395.249.809,00 (Tahun 2007).
Di dalam BAST, Pasal 2, tanah yang diserahkan sebagai kewajiban dari 7 pengembang, di antaranya ada PT Astra International Tbk dan PT Subur Brother, yang diwakili PT Agung Podomoro.
Di dalam BAST, Pasal 3, tertulis “… dalam keadaan baik sesuai standar yang ditetapkan, Tidak Sengketa,… dst”
Di dalam BAST, Pasal 4 (2) tertulis “PIHAK PERTAMA Berkewajiban menyelesaikan sertifikat tanah…dst“. Catatan : PIHAK PERTAMA adalah TRIHATMA KUSUMA HALIMAN, Direktur I PT Agung Podomoro.
Di dalam BAST, Pasal 6, dijelaskan penyerahan disertai surat-surat dokumen. Catatan: BAST dilampiri 5 Surat Pelepasan Hak (SPH).
Daftar barang milik daerah: tanah seluas 265.335,99 m2; terletak di Jalan Rumah Sakit Koja, Keluarahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakut; No. Inventaris : 11.9.3.09.00.00.00.002.2007 garis bawah, 01.01.05.05.004.00001.
Analisis dari Data di Atas
Sesungguhnya di mana letak tanah yang diserahkan? Apakah tidak salah alamat bila terus mengklaim tanah BMW? Sebab, tanah BMW di Jalan RE Martadinata Keluarahan Papanggo, bukan di Jalan Rumah Sakit Koja Kelurahan Papanggo dan Sunter Agung.
Tanah yang diserahkan seluas 265.335,99 m2, tetapi dari 5 SPH terlampir jika dijumlah hanya seluas 122.228 m2. Kebenaran 5 SPH ini perlu diuji. Ternyata 4 SPH di Kelurahan Sunter Agung dan dilegalisasi Lurah Sunter Agung. Padahal, tanah BMW di Kelurahan Papanggo. Satu SPH di Kelurahan Papanggo, tetapi disangkal pihak keluarga. Keluarga menyatakan bahwa (almarhum) bapaknya tidak punya tanah dan bukan Dirut PT Sinar Air Mas dan tanda tangan dalam SPH juga bukan tanda tangan ayahnya (ada pembandingnya). Kejanggalan lain dari SPH, disebut sebagai kewajiban 7 pengembang, tetapi semua SPH cuma kepada PT Indofica Housing.
Lahan Pengganti Fiktif
Secara fisik, sebenarnya di manakah letak aset tanah 265.335,99 m2 yang terletak di Jalan Rumah Sakit Koja, Kelurahan Papanggo? Tentu keliru besar kalau menunjuk lokasi Taman BMW yang terletak di Jalan RE Martadinata, Kelurahan Papanggo, Jakarta Utara.
Dari analisis 1, 2, dan 3 di atas, patut diduga, kesepakatan antara penyelenggara negara dan pengembang yang menghasilkan BAST pada tanggal 08-06-2007 adalah “abal-abal” atau fiktif, dengan aroma kolusi. Karena itu, salah besar jika Pemprov DKI Jakarta sudah memasukkan tanah BMW sebagai asetnya. Pemprov DKI Jakarta melakukan penggusuran masyarakat di Taman BMW tahun 2008 dan membuat pagar dengan APBD Rp 673.211.211 adalah tindakan keliru dan masuk kategori pidana.
Sampai saat ini, aset itu fiktif. Di sinilah terjadinya kerugian negara: tanah seluas 265.335,99 m2 senilai Rp 737.395.249.809,00 (tahun 2007). Artinya, Pemprov DKI masih punya piutang dan pengembang masih punya utang.
Kejanggalan Lain
Masuknya PT Astra International Tbk dan PT Subur Brother dalam BAST ternyata dalam persidangan perdata keduanya menyangkal. Kewajibannya kepada Pemprov DKI sudah diselesaikan sendiri.
Pengembang PT Agung Podomoro menyerahkan tanah sengketa.
Pengembang PT Agung Podomoro tidak bersedia men-sertifikatkan
Pemprov DKI Sibuk urus Sertifikat
Patut diduga proses BAST menyalahi prosedur, tanpa di cek di lapangan.
Pengembang menantang Pemprov DKI Jakarta
Ada kesan Pemprov DKI Jakarta saat ini masih membenarkan proses penyerahan kewajiban fasos/fasum dari pengembang. Bagaimana tidak? ketika disinggung tentang dugaan kolusi dan korupsi, pernyataan pejabat Pemprov DKI Jarta beralih ke ranah pidana dan perdata, bahkan berani menyatakan tidak ada kolusi dan korupsi.
Penjelasan para pejabatnya membentuk opini bahwa tanah BMW milik Pemprov DKI Jakarta dan akan segera terbit sertifikat dan dibangun stadion. Di sisi lain, pejabat Badan Pertanahan Nasional mengatakan tidak mungkin dikeluarkan sertifikat karena lahan masih sengketa. Dua pernyataan yang antagonistik dan membingungkan.
Wagub DKI Jakarta Ahok di media menyampaikan kurang lebih 5,5 hektare akan bersertifikat. Lain lagi dengan Wiriyatmoko, Pelaksana Harian Sekda DKI, yang menyampaikan ada 9 hektare tanah berstatus jelas tanpa klaim, sehingga bisa disertifikatkan.
Semua itu patut diduga ada “kekuatan tertentu” yang berusaha memaksakan kehendak keluarnya sertifikat meski tanpa dasar sama sekali.
Ketika Sertifikat Nomor 250 Tahun 2014 diterbitkan, itu dapat dipastikan palsu. Ini ditandai antara lain proses ukur yang tidak wajar, pernyataan para pejabat yang tidak konsisten, dan pengukuran tanah tanpa dasar hak tanah, lokasi tanah tidak jelas, dan tanah dalam sengketa.
Institusi Badan Pertanahan Nasional dipastikan terlibat dalam korupsi Rp 737 miliar ini. (sumber:asatunews.com)