JAKARTASATU — Korban kasus trafficking (AT) menyeret nama Raja Solo PB XIII, Hangabehi. Kasus perkosaan oleh Raja Solo ini diduga dihambat oleh Polisi.
Demikian hal ini diungkapkan Asri Purwanti dan Iwan Pangka kuasa hukum AT korban perkosaan itu. Dalam rilisnya yang diterima Redaksi pada (28/9) diungkapkan bahwa:
“Kami, Asri Purwanti , Iwan Pangka dan kawan kawan masih memegang surat kuasa khusus dari korban AT maupun keluarganya. Jadi tidak benar bahwa kami digantikan oleh PPT Seruni dari Semarang. Dan apabila Kapolres Sukoharjo, AKBP Andy Rifai, menyatakan di media, bahwa kami tidak menunjukkan SK ataupun berita acara pengangkatan sumpah oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, pendapat kami adalah kapolres sudah melampaui wewenangnya untuk mempertanyakan peran dan status kami sebagai pengacara dan selanjutnya silahkan bapak kapolres,bertanya serta hubungi Bpk. Indra Sahnun Lubis,SH-Presiden KAI, apalagi Tim Hukum kami juga ada anggota dari PERADI “
Iwan Pangka juga menilai bahwa kasus perkosaan pada korban AT pelakunya harus segera di proses. “Kami malah bertanya mengapa PB XIII-Hangabehi yang patut diduga sebagai pelaku dalam kasus pemerkosaan dan trafficking pada korban AT ini, tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan? Mengapa pihak korban AT yang kesannya “diobok-obok” hingga ayah kandung korban AT justru dipanggil sebagai saksi, relevansinya dimana?” tanya Iwan.
Seperti diketahui Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, telah dilaporkan ke Polres Sukoharjo karena dituduh telah memperkosa dan korbannya siswi SMK Swasta, sekarang dalam keadaan hamil.
Kasus ini nyaris menguap, lalu kini apa kabar kasusnya?
Layaknya seorang pemimpin daerah adalah contoh lakon yang baik untuk penduduknya, dia juga
berperan sebagai sosok pengayom yang bisa melindungi rakyat dengan tanggung jawab yang ada di
pundaknya. Dengan gelar keraton dibelakangnya, tentu pemimpin daerah menjadi sosok yang sangat
dikagumi dengan nilai kedaerahan yang kental, sehingga membuat masyarakat hormat kepadanya.
Tim pengacara / Advokasi korban, Asri Purwanti dan Iwan Pangka, menyatakan pihak kepolisian Polres
Sukoharjo, telah menghambat kasus ini karena meminta syarat surat kuasa khusus harus dilampiri
berita sumpah pengadilan tinggi. Kuasa hukum mengaku kecewa dengan permintaan kepolisian yang
telah melampaui wewenang pengadilan. “Ini sudah melampaui wewenang polisi. Ini wewenangnya
pengadilan. Bahkan pengadilan saja tidak pernah meminta surat itu,” kata Iwan Pangka, setelah
mendapat telepon dari rekan sejawatnya Pengacara Asri Purwanti dari kota Solo.
Inilah Kronologi Kejadian Pengakuan Korban AT:
Pengakuan korba AT pada Maret 2014 lalu, Korban AT yang kebingungan harus membayar uang sekolah, menemui teman semasa SMP-nya, YSF, dan meminta untuk dicarikan pekerjaan agar AT dapat membayar SPP yang menunggak tiga bulan dan dapat mengikuti ujian semester. Seminggu kemudian, YSF memberi kabar pada AT bahwa YSF akan membantu AT sepulang sekolah untuk mendapatkan uang itu. YSF menjemput AT bersama dengan Inul di rumah AT, sepulang sekolah. Tanpa curiga dan harapan SPP-nya akan terbayar, AT pun ikut dengan YSF dan Inul mengendarai sepeda motor ke Tugu Lilin. Setibanya di Tugu Lilin, ternyata sudah ada wanita bernama Wati yang menunggu mereka disana. Wati memberitahukan pada AT , nanti akan dijemput Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, ikut saja maunya ‘sinuhun’ bagaimana, jika ditanya nama harus dijawab bahwa nama AT adalah Putri, dan nantinya AT akan diberi uang senilai 2 juta rupiah, tapi serahkan ke Wati dulu.
Tidak lama, Wati kemudian berbicara dengan seseorang di telepon dan menyebutkan kalimat “ini sudah
ditunggu di tempat biasa”. Kemudian mobil putih datang menjemput AT . AT masuk dan duduk di
depan. Di mobil itu hanya ada AT dan patut diduga Raja Solo. Setelah itu sang Raja menanyakan nama,
Ia memberi AT permen. Hanya setelah beberapa menit permen itu dimakan oleh AT, Ia merasakan
pusing dan matanya sangat mengantuk. AT tidak berdaya. Mobil berhenti di parkiran Hotel Mulia, yang
hanya berjarak sekitar 15 menit dari Tugu Lilin. AT turun dibantu oleh Raja Solo. Di tangga, AT ambruk,
Ia hanya ingat, Ia dibantu oleh petugas hotel menuju ke kamar. AT tidak sadar lagi apa yang terjadi
selanjutnya.
Selepas Maghrib, AT dalam keadaan tanpa busana, dibangunkan oleh Raja Solo. AT pergi ke kamar
mandi dengan sempoyongan karena masih ada efek obat bius dari permen yang diberikan oleh Raja
Solo. Keluar dari kamar mandi, Raja Solo mengambil gambar AT yang masih dalam keadaan telanjang
bulat dengan kamera ponsel Raja Solo. Kemudian AT diantarkan kembali ke Tugu Lilin. AT diberi uang
senilai 2 juta rupiah oleh Raja Solo. Setelah diturunkan di Tugu Lilin, AT, YSF, dan Wati menuju ke rumah YSF.
Disana, Wati menerima uang tersebut, 700 ribu rupiahnya dikembalikan ke AT dan Wati
mengatakan pada AT bahwa 600 ribu itu untuk membayar SPP, kemudian 100 ribunya AT disuruh
membeli jaket. Saat ini, jaket itu menjadi barang bukti.
Kehamilan
Dua bulan setelah malam itu, AT tidak juga datang bulan. Ia bercerita kepada teman dekatnya,
kemudian mereka memutuskan untuk membeli alat tes kehamilan. Hasilnya pun positif. AT semakin
depresi dan mencari dimana YSF. AT hilang arah. Bahkan Ia sempat meminum ciu (minuman keras
daerah sekitar) sebanyak dua liter untuk bunuh diri. Apalagi AT tidak pernah berhenti keputihan, seperti
ada yang salah pada organ genitalnya.
Proses Hukum
Proses hukum saat ini berjalan sangat lambat. Tidak ada inisiatif dari pihak kepolisian-Polres Sukoharjo
untuk meminta keterangan dari patut diduga Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku
Buwono (PB) XIII Hangabehi . Padahal ketika ditunjukkan foto Raja Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, korban AT yakin bahwa orang itulah yang bersama dia
di malam itu. Ketika Wati tertangkap di Pasar Minggu Jakarta kemudian dibawa ke Solo pun, Wati sudah
mengakui bahwa yang ‘membeli’ AT adalah Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku
Buwono (PB) XIII Hangabehi.
Namun polisi tidak mengambil tindakan. YSF juga belum diperiksa lebih lanjut, pihak hotel pun tidak dipersalahkan atas tidak adanya CCTV untuk membuktikan kehadiran Raja Solo dan korban AT, sehingga mereka terkesan cuci tangan. Ketika mewawancarai AT pun, pihak kepolisian seolah-olah tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh AT dan mengajukan kemungkinan-kemungkinan lain.
Polisi malah seperti mencari alasan-alasan dan keterangan yang menunjukkan bahwa
kasus ini tidak mengarah ke Raja Solo. Seperti memberi kemungkinan bahwa yang ada di mobil bukanlah Raja Solo, melainkan hanya supirnya. Padahal korban AT dengan jelas bahwa wajah lelaki itu cocok dengan foto Raja Solo yang ditunjukkan oleh polisi. Hingga saat ini, Tim Advokasi hukum buat korban AT berjuang agar pihak kepolisian mau mengambil keputusan dan menegakkan keadilan.(JKTS/TOM/JGU)