JAKARTASATU — Skema bisnis yang diterapkan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dalam membeli 13,7% saham PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), dengan nilai Rp 11,065 triliun, dipertanyakan banyak pengamat dan praktisi keuangan dan bisnis telekomunikasi.
Pasalnya, 49% saham PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak perusahaan Telkom yang bergerak di jasa pengadaan dan sewa menara base transceiver station (BTS) hanya dihargai setara 5,7% saham TBIG. Sisa 8% saham TBIG dibeli Telkom harus dibayar tunai. Selain sangat merugikan Telkom secara keuangan, pembelian saham TBIG 5,7% harus dibayar dengan 49% saham Mitratel.
“Akuisisi 13,7 persen kepemilikan saham di TBIG setelah peningkatan modal melalui penerbitan saham baru yang ditukar dengan saham Telkom di PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) selaku anak perusahaan yang bergerak di bidang menara,” ungkap Vice President Public Relations Telkom, Arif Prabowo, dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (10/10).
Sebagai tahap awal transaksi, menurut Arif, Telkom akan menukarkan 49% saham di Mitratel yang setara dengan paling banyak 290 juta saham baru atau sekitar 5,7% dari modal saham di TBIG yang telah ditingkatkan melalui penerbitan saham baru. Dalam jangka waktu dua tahun, Telkom memiliki opsi untuk menukarkan sisa 51% kepemilikan saham di Mitratel yang setara dengan 473 juta saham baru di TBIG. Dengan begitu, kepemilikan Telkom di TBIG akan mencapai 13,7% setelah peningkatan modal melalui penerbitan saham baru.
Arif mengungkapkan, sektor menara merupakan sektor bisnis yang potensial dengan pertumbuhan yang tinggi. Telkom ingin mendapatkan manfaat melalui investasi di sektor tersebut dan itu dapat diwujudkan melalui kepemilikan yang signifikan di TBIG.
“Kerja sama dengan TBIG ini diharapkan akan terjadi peningkatan tenancy ratio dari menara yang dimiliki Mitratel sehingga akan memberikan manfaat bagi industri menara secara keseluruhan,” kata Arif.
Namun, Yudi Samara, praktisi intelijen bisnis, punya pandangan yang berbeda. “Itu adalah transaksi terbodoh PT Telkom Indonesia Tbk sepanjang sejarah,” ungkap Yudi dalam siaran pers-nya, Jumat malam (10/10).
Ia mencium aroma busuk korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam transaksi aneh ini serta mendesak BPK dan KPK segera mencermati, menginvestigasi, bahkan kalau diperlukan langsung penyelidikan untuk mengungkap dugaan korupsi ini.
Transaksi pembelian saham TBIG oleh BUMN telekomunikasi itu memang belum mendapat persetujuan dari Komisi I dan VI DPR. Pihak pemerintah melalui Menteri BUMN juga belum diperoleh komfirmasi persetujuannya terhadap aksi korporasi PT Telkom ini.
Malah, anggota DPR periode lalu sudah meminta PT Telkom untuk membatalkan rencana tukar guling atau share swap saham Mitratel dengan salah satu perusahaan menara yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu. Alasannya, dari sisi regulasi, aksi korporasi pada aset BUMN yang termasuk aset negara tersebut tidak boleh dilaksanakan karena sudah ditolak DPR. Dari sisi strategi bisnis, rencana tersebut dinilai sangat janggal dan rawan terjadi praktik insider trading atau transaksi dengan menggunakan informasi orang dalam.
“Ide dari Telkom itu agak kontroversial dan DPR sudah tidak menyetujui penjualan Mitratel,” kata Ferari Romawi, yang dulu anggota Komisi VI DPR, 22 September lalu. Ferari menyatakan parlemen sudah menolak dengan tegas rencana pelepasan Mitratel tersebut.
Ia juga mengingatkan, Mahkamah Konstitusi pada 18 September sudah memutuskan, badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) adalah aset negara “Itu artinya Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara harus juga dipatuhi oleh mereka,” ungkap Ferari.
PT Telkom saat ini merupakan BUMN telekomunikasi sehingga harus mematuhi Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 45 ayat (2) undang-undnag itu menyebutkan, “Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.”
Hal yang sama juga dikatakan anggota Komisi VI DPR pada periode lalu, Arif Minardi. Ia bahkan menduga ada sesuatu di balik aksi korporasi Telkom yang akan melakukan tukar guling saham Mitratel. “Ini bisa menyesatkan publik. Ada udang di balik batu manuver Telkom itu,” ujar Arif, September lalu.
Menurut Arif, Telkom saat ini adalah perusahaan terbesar dari sisi jumlah menara yang beroperasi, yakni sebanyak 90.000 unit, termasuk 2G dan 3G dari Telkomsel, Flexi, dan Mitratel. Mitratel sendiri memiliki 5.000 menara. Jadi, jumlah menara Mitratel setengah dari perusahaan tower lainnya, seperti PT Tower Bersama Infrastructure Tbk.
Persoalannya, lanjut Arif, Telkom berencana melikuidasi Flexi—dan sudah dilaksanakan. Dalam rencana tersebut, Telkom mempertimbangkan juga divestasi 4.500 BTS milik Flexi. “Seharusnya Telkom memindahkan aset tersebut ke Mitratel untuk mewujudkan perusahaan tower dengan jumlah 10.000 tower,” kata Arif. Cara lain, lanjutnya, Telkom bisa menambah tower Mitratel lewat akuisisi 5.000 tower Telkomsel sehingga bisa bersaing dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk dan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Keduanya memiliki nilai aset Rp 40 triliun. Telkom juga bisa menggelar penawaran umum saham perdana atawa IPO Mitratel untuk mengakuisisi tower Telkomsel.
Sementara itu, peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menilai, menjual 49% saham Mitratel untuk 22% saham Tower Bersama bisa diklasifikasikan mark up atau mark down valuasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menginvestigasi pihak yang terlibat proses ini,” katanya.
Menurut Uchok, penjualan Mitratel itu sebagai pintu masuk pidana korupsi melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Sikap DPR jelas-jelas menolak rencana penjualan Mitratel karena melanggar mekanisme Undang-Undang Keuangan Negara. Karena itu, rencana penjualan Mitratel harus dibatalkan,” kata Uchok.
Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen, juga menilai rencana tukar guling saham tersebut rawan korupsi dan rentan praktik insider trading. “Kalau dipaksakan share swap, itu sudah rawan praktik insider trading dan adanya permainan pihak ketiga yang bertindak sebagai makelar,” ujar Naldy, beberapa waktu lalu.
Ia berpendapat, praktik insider trading bisa saja terjadi karena penetapan nilai dari saham yang tidak transparan. “Paling ideal dan minim risiko adalah go public atau initial public offering. Walau ada potensi permainan dengan standby buyer, semua terbuka di pasar,” katanya.
Terkait banyak protes dan pertanyaan atas rencana PT Telkom itu, Kepala Divisi Penilaian Perusahaan Grup 2 Bursa Efek Indonesia, Umi Kulsum, pernah mengirim surat ke PT Telkom, untuk meminta penjelasan.Surat bernomor S-04446/BEI.PG2/09-2014 itu bertanggal 24 September 2014.
Dalam jawabannya atas surat tersebut, dengan surat bernomor Tel.197/COP-AO70000/PR110/2014 bertanggal 26 September dan ditandatangani POH Vice Presiden Investor Relations PT Telkom, Prakoso Imam Santoso, pihak PT Telkom antara lain mengatakan menunggu keputusan pemerintah (Kementerian BUMN) terkait penolakan DPR itu, karena Kementerian BUMN adalah mitra kerja DPR. Juga dikatakan, PT Telkom pada prinsipnya siap melaksanakan apa pun keputusan yang akan dimabil pemerintah.
Anehnya, meski sudah mengatakan seperti itu, bukannya menunggu keputusan pemerintah dan persetujuan DPR, pihak PT Telkom tetap ngeyel melaksanakan rencananya. Ke-ngeyel-an ini tentu saja membuat senang pihak PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG) Tbk. Malah, pihak TBIG mengklaim telah terjadi kesepakatan dengan PT Telkom terkait hal tersebut.
“Kami senang dengan adanya kesepakatan kemitraan strategis dengan Telkom ini. Kemitraan ini merupakan salah satu pencapaian yang sangat penting bagi TBIG,” kata Chief Executive Officer TBIG Hardi Wijaya Liong, Jumat (10/10). Menurut dia, kemitraan ini tidak hanya memungkinkan TBIG untuk secara signifikan meningkatkan skala bisnisnya, baik dari sisi jumlah penyewaan dan pendapatan serta penyebaran geografis asetnya. “Namun, juga memperkuat hubungan bisnis antara TBIG dan Grup Telkom,” ujarnya.
Yudi Samara curiga, pemilihan waktu untuk mengumumkan rencana tersebut memang sudah diperhitungkan, dalam situasi transisi dan DPR periode 2014-2019 masih baru mulai bekerja. “Sehingga pengawasan terhadap transaksi ini sangat rawan korupsi,” kata Yudi. | DJE-ASN-ADK