Kuntoro Mangunsubroto usai diperiksa KPK/IST
Kuntoro Mangunsubroto usai diperiksa KPK/IST
Kuntoro Mangunsubroto usai diperiksa KPK/IST

Jakartasatu.com – Nama Kuntoro Mangunsubroto makin menjadi buah bibir di sekalangan publik. Pasalnya ia dikabarkan bakal menempati kursi strategis di Kementerian ESDM., jelasnya pengganti Jero Wacik. Kendati demikian, sosok Kuntoro bagi sebagian kalangan merupakan orang yang tidak pantas memimpin pos Menteri ESDM bahkan perlu diwaspadai.

Dari catatan yang ada, Kuntoro sempat bersinggungan dengan hukum dalam kasus dugaan suap penanganan pajak PT Master Steel pada tahun lalu.Bahkan dalam kasus itu, Kuntoro yang menjabat Ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) itu sempat menolak untuk bersaksi di hadapan penyidik KPK dengan alasan yang tidak jelas.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) dari dua orang penyidik pajak di Direktorat Jenderal Pajak yaitu Eko Darmayanto dan Moh Dian Irwan Nuqishira dengan dua Manajer Keuangan PT Master Steel, Effendi Komala dan Teddy Muliawan. Tersangka terakhir yaitu Direktur Keuangan PT Master Steel, Diah Soembedi.

Sisi lain yang menyebabkan dia tak pantas menyandang status menteri di kabinet Jokowi karena ia telah berusia lanjut yakni 67 tahun. Sementara presiden Jokowi berharap para pembantunya berusia muda dan energik serta berpengalaman di sektor energi dari hulu hingga hilir.

Praktisi Hukum, M. Zakir Rasyidin menyatakan bahwa pos Kementerian ESDM sangat tidak layak disandang oleh Kuntoro Mangunsubtroto. Nama lain yang juga tak pantas, kata dia, adalah Raden Priyono karena termasuk orang yang membahayakan.

Ia menilai bahwa Kuntoro Mangkusubroto dan Raden Priyono merupakan nama-nama yang patut diduga bagian dari integral rusaknya tata kelola migas dan tata kelola energi nasional.

“Sebab nama-nama tersebut sebelumnya sudah diberi kesempatan oleh Undang – Undang untuk menata ulang serta memperbaiki tata kelola migas. Namun Kenyataanya, justru ketika mereka mengisi pos-pos strategis di Kementrian ESDM, mafia migas makin menggurita dalam sistem ekonomi politik,”katanya beberapa waktu lalu.

Atas dasar itu, ia menganggap keduanya ini tidak usah dilibatkan lagi dalam agenda pembaharuan pembangunan dan tata kelola migas yang akan dijalankan Jokowi JK.

Siapakah Kuntoro sebenarnya? Mengapa dia demikian sakti, hingga Jokowi pun sepertinya tak bisa ‘menolak’ dia? Berikut data lengkapnya seperti dikutip dari Inilah.com, Jumat, (24/10/2014):

Lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 14 Maret 1947, karir birokrasinya terbilang panjang dan lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum (1993-1997), dua kali Menteri Pertambangan (Kabinet Pembangunan VII 1998 dan Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005). Terakhir posisinya adalah Kepala UKP4 di era Presiden SBY.

Pejuang neolib

Sejauh itu kinerjanya biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Bahkan selama di lingkaran kekuasaan, Kuntoro justru dituding banyak pihak lebih banyak berperan sebagai kepanjangan tangan kepentingan kapitalis asing. Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy bahkan menyebut Kuntoro sebagai salah satu simpul utama kekuatan kaum neoliberalis di Indonesia. Masuknya Kuntoro di jajaran kabinet Jokowi-JK dikhawatirkan akan mengembalikan kekuatan neolib untuk menguasai Indonesia.

Noorsy benar. Lihat saja rekam jejak Kuntoro ketika menjadi birokrat. Salah satu jasa penting Kuntoro adalah disahkannya UU No.22/2001 tentang Migas. Dia punya peran sangat vital dalam masuknya kepentingan asing sejak pembuatan draft RUU sampai disahkan menjadi UU. Asal tahu saja, lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.

Kisah ini dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.

Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID me-review draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun, sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.

Renegosiasi listrik swasta

Sepak terjang Kuntoro yang berpihak pada kepentingan asing juga ditunjukkan ketika menjadi Dirut PLN. Saat itu Pemerintah bermaksud merenegosiasi tarif 27 proyek listrik swasta yang harga jual ke PLN-nya selangit. Maklum, ke-27 perusahaan listrik swasta yang didirikan negara-negara industri maju itu menggandeng keluarga dan kroni Soeharto pada periode 1990-an. Mereka datang dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman.

Ke-27 perusahaan listrik swasta tadi pada 1996 meneken perjanjian jual beli listrik dari pembangkit swasta ke PLN yang tertuang dalam Power Purchase Agreement (PPA) atau Energy Sales Contract (ESC). Harga jual energi listrik yang dibebankan kepada PLN ternyata sangat gila-gilaan, berkisar antara US$7-9 sen per kWh. Padahal, penjualan listrik swasta di negara-negara Asia lainnya waktu itu cuma sekitar US$3,5 sen per kWh.

Jika berpegang pada kontrak PPA itu, PLN mesti merogoh koceknya dalam-dalam. Pada saat yang sama, kemampuan keuangan PLN pasca krisis ekonomi justru sangat jeblok. Semester pertama 2000, PLN didera rugi Rp11,58 triliun. Tahun 2001, kerugiannya melambung jadi Rp24 triliun.

Nah, apa peran Kuntoro selaku Dirut PLN waktu itu? Seharusnya, dialah orang pertama yang paling fight supaya tarif jual listrik swasta ke perusahaan setrum pelat merah itu diturunkan. Tapi faktanya tidak demikian.

Melihat sikap itu, tidak heran bila Rizal Ramli, Menko Perekonomian selaku komandan Tim Renegosiasi Listrik Swasta, akhirnya mendepak Kuntoro. Rizal lalu menunjuk Eddie Widiono sebagai pengganti.

Syukurlah, sebagai Dirut PLN, Eddie bekerja dengan semestinya. Setelah menempuh perjuangan keras, renegosiasi pun akhirnya final. “Hasilnya, total kewajiban pemerintah dan PLN turun drastis, dari US$80 miliar menjadi US$35 miliar,” kata Rizal Ramli waktu itu dengan nada lega.

Gila jabatan

Kini mari kita telusuri lagi rangkaian jabatan yang pernah disandang Kuntoro. Sebelum menjabat Dirut PLN (2000), dia sudah dua kali menjadi Menteri ESDM (Kabinet Pembangunan VII, 1998 dan di Kabinet Reformasi Pembangunan 1998-1999), Sebelumnya, dia juga menjadi Dirjen Pertambangan Umum (1993-1997).

Siapa pun yang sekolahnya lulus SMP tentu paham benar, bahwa jabatan menteri pasti lebih tinggi dan bergengsi ketimbang dirut BUMN. Bahkan dibandingkan Dirjen saja, posisi sebagai Dirut BUMN bukanlah tandingannya.

Tapi pertanyaan yang menggelitik publik ketika itu adalah, kok ya Kuntoro mau menjadi Dirut PLN setelah sebelumnya menjadi dirjen dan menteri? ‘Ironisnya’ posisi dirjen dan menteri itu justru ‘majikan’ langsung posisi dirut yang kemudian dipangkunya.

Menyikapi fakta ini, tidak mengherankan bila orang langsung berpendapat Kuntoro bisa dibilang ‘gila’ jabatan. Mending kalau ‘kegilaan’ itu didasari sikap pengabdian kepada negeri, tanpa peduli posisi. Artinya, di posisi apa pun, semangat merah putih tetap bergelora di dada. Tentu saja, hal itu harus dibuktikan dengan berbagai sepak terjang dan kebijakan yang diterlurkannya, semuanya berpihak pada kepentingan bangsa.

Nah, dengan rekam jejak seperti ini, akankah Jokowi tetap menariknya sebagai menteri? Mr Presiden, masih Anda mau memakai Kuntoro?

Sumber: ROL, Inilah.com