JISJAKARTASATU — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penanganan kasus dugaan kekerasan seksual di sekolah Jakarta International School (JIS) menjadi salah satu bukti tindakan polisi kurang hati-hati, tidak independen dan memaksakan sebuah kasus dari bukti-bukti yang sangat lemah.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, kasus JIS memperlihatkan bagaimana polisi membentuk sebuah rangkaian cerita yang tidak berdasarkan alat bukti alias kasus bodong.

Akibatnya untuk memaksakan ceritanya, polisi melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap pekerja kebersihan JIS agar mengakui kasus kekerasan seksual itu.

“Kasus JIS kembali mempertontonkan kepada kita bagaimana sebuah rekayasa terjadi. Kematian seorang pekerja kebersihan JIS dengan muka lebam menjadi bukti bahwa tindak kekerasan oleh polisi itu nyata terjadi,” ujar Haris dalam media Briefing bertema Tantangan Kinerja Polisi di Pemerintahan Jokowi yang digelar KontraS di Warung Tjikini, Selasa malam (4/11/2014).

Haris menambahkan, kasus JIS merupakan satu dari 3 kasus yang sangat lekat dengan faktor kekerasan dan rekayasa.

Dua kasus lainnya adalah kasus Brigadir Susanto, polisi yang diduga menembak atasannya di Polda Metro pada Maret 2014 dan kasus penahanan Muhammad Arsyad dengan dugaan konten pornografi kepada presiden.

Terkait kasus JIS, lanjut Haris, dari hasil monitoring dan investigasi yang dilakukan KontraS, banyak fakta-fakta persidangan yang bertolak belakang dengan BAP yang disusun oleh polisi.

Misalnya hasil visum rumah sakit dan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan penuntut umum semakin melemahkan cerita polisi.

Para terdakwa juga mengaku bahwa mereka terpaksa mengakui perbuatan versi BAP karena tidak kuat menahan siksaan oleh polisi.

Seperti terdakwa  Syahrial yang mengaku mengalami tindakan brutal dan kekerasan dari polisi mulai jam 9 malam sampai jam 3 pagi seusai ditahan pada bulan April lalu. Karena tak kuat menanggung sakit, Syahrial akhirnya menyerah.

“Karena polisi berada dibawah koordinasi langsung Presiden, Bapak Jokowi seharusnya juga mencermati kasus ini. Dengan kondisi polisi saat ini masyarakat semakin takut berhubungan dengan polisi, karena polisinya sendiri menunjukkan ketidaktaatnya pada hukum. Kasus JIS adalah salah satu bukti tindakan polisi yang tidak profesional dan memaksakan sebuah kasus dari fakta yang lemah,” tegas Haris.

Menurut Haris, sebagai sekolah ternama dan berlabel asing,  JIS dijadikan sebagai panggung dan penghakiman institusi dengan membentuk sentimen asing.

Padahal dari kasus ini yang menjadi korban adalah para pekerja kebersihan yang secara ekonomi tidak mampu dengan akses politik dan informasi yang lemah.

“Masyarakat kecil seperti pekerja kebersihan JIS ini selalu menjadi korban dan tidak bisa melawan. Lain halnya dengan kasus anaknya Hatta Rajasa yang menabrak beberapa orang sampai meninggal. Anaknya Hatta  tetap bisa bebas dan mendapat perlakuan berbeda karena punya akses politik dan uang,” tegasnya.

Presiden Ikut Memonitor

Dalam kesempatan ini perwakilan orangtua murid JIS Ayu Rahmat menuturkan, sejak awal kasus di JIS ini sangat janggal dan tidak masuk akal.

Selain sistem dan kontrol di sekolah sangat ketat, cerita yang dimunculkan dalam BAP pekerja kebersihan itu mustahil terjadi.

“Bagaimana mungkin seorang anak berusia 6 tahun mengalami sodomi lebih dari 13 kalo oleh 4 orang kondisi lubang pelepasnya masih normal. Itu bukti visum dari RSCM dan SOS Medika yang sudah disampaikan ke majelis hakim,” jelas Ayu.

Ayu menambahkan, di TK JIS banyak orangtua siswa yang terlibat dan memonitor kegiatan anak-anaknya. Karena itu menjadi sangat aneh kita ibu Pipit yang tidak pernah datang ke sekolah tiba-tiba melaporkan kasus ini.

“Kami bingung dengan semua cerita ini. Apalagi ada gugatan yang nilainya bisa digunakan untuk membeli seluruh tanah yang ditempati JIS. Ada apa ini semua,” katanya.

Ayu juga meminta Presiden Jokowi dan ibu Iriana  untuk ikut memonitor kasus ini. Pasalnya kasus ini menjadi pertaruhan hidup mati bagi keluarga para terdakwa.

Para pekerja kebersihan ini merupakan tulang punggung keluarga dan sumber nafkah bagi keluarganya.

“Bayangkan jika kita dihukum oleh suatu perbuatan yang tidak pernah kita lakukan dan harus menanggungnya seumur hidup. Mereka punya anak, istri, orang tua dan anak asuh. Saya yakin dengan mengungkap kebenaran dalam kasus ini kita dapat menyelamatkan masa depan banyak keluarga dan orang-orang kecil yang mampu dan tidak bersalah ini,” imbuh Ayu.(JKST/VIC/TR)