JAKARTASATU.COM – Kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) telah memasuki persidangan. Dalam perjalanannya, kasus ini diwarnai berbagai kejanggalan. Mulai dari pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), kontroversi hasil visum, hingga kematian salah satu tersangka di tahanan.
Bahkan, kuasa hukum JIS, Harry Ponto, menduga ada motif komersial dalam kasus ini. “Kalau kami melihat motif di balik kasus ini, kami sudah meragukan jika tujuannya berbicara terhadap perlindungan anak. Tujuannya sudah jelas komersial,” katanya.
Harry, kepada Fahmi W. Bahtiar dari SINDO Weekly, mengatakan bahwa dugaan itu merujuk pada gugatan perdata yang diajukan orang tua korban. Sebelumnya, tuntutan hanya senilai US$12 juta, lalu tiba-tiba menjadi US$125 juta.
“Hal ini patut diperhatikan,” imbuhnya.
Apa kejanggalan yang ditemukan oleh pihak JIS dalam kasus ini?
Kami mulai merasa ada kejanggalan ketika ibu dari Michael (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban lebih fokus kepada ganti rugi. Gugatan pertama pada 21 April sebesar US$12 juta. Ini jadi tanda tanya besar. Sebab, angka itu sama dengan Rp 140 miliar. Kami tak melihat preseden kalau itu betul terjadi. Kemudian, pada 28 Mei 2014, terjadi peningkatan ganti rugi menjadi US$125 juta atau setara Rp 1,5 triliun. Ini angka yang luar biasa besar. Kami jadi bertanya-tanya. Apa motifnya? Kok, bisa sampai segitu? Kejanggalan lain?
Ketika kasus cleaner (petugas kebersihan di JIS) ini bergulir ke pengadilan, kami baru menemukan bukti. Berdasarkan hasil visum dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), tidak ditemukan bukti adanya sodomi. Jadi, dubur anak ini bersih. Tak ada luka dan sobekan. Logikanya, jika terjadi sodomi secara paksa, dubur si anak akan mengalami luka. Kalaupun itu terjadi, tidak mungkin anak itu sukarela disodomi.
Kami merasa ada kejanggalan. Ibu si anak teriak-teriak bahwa cleaner itu menyodomi sampai belasan kali. Ia juga menuduh para guru. Namun, kondisi dubur si anak tidak ada masalah. Tidak ada bekas luka.
Namun, konon, ada dua visum yang dilakukan pihak korban yang mengatakan telah terjadi sodomi berdasarkan visum RSPI. Mengapa hasil visumnya bisa berbeda?
Visum RSCM mengatakan tidak ada luka. Tidak ada robekan dan otot normal. RSPI pun mengatakan hal yang sama. Tampak luarnya terlihat normal. Ketika dia melakukan anuxopy (dimasukkan alat), di rectum (bagian dalam) ditemukan ada nanah. Kalau dari luar tak ada bukti penetrasi, berarti lukanya dari dalam. Jadi, yang paling penting adalah tampak luar. Ada bukti sodomi, enggak?
Kata dokter, kalau anak stres dan tak bisa buang air hingga membuat feses keras, kan, bisa saja melukai. Adanya luka di dalam, ya, bisa terjadi karena dari dalam, bukan dari luar. Coba lihat apakah sebelumnya ada bukti klinis dan dikasih obat apa? Bisa saja salah obat atau dikasih antibakteri. Dokter juga tidak mengatakan nanah tersebut akibat dari hasil hubungan seksual. Tidak. Dari luar tidak ada benda yang masuk, sehingga tidak terbukti adanya penetrasi. Harus dilihat dulu obat dari RSPI itu obat jamur atau apa?
Bagaimana dengan keyakinan ibu korban yang tetap berpegangan pada visum RSPI? Visum menyatakan telah terjadi sodomi. Sementara, menurutnya, visum RSCM hanya memeriksa bagian luar. Apakah ada bukti luka dari luar? Itu tidak menjelaskan apa-apa. Tampak luarnya bersih. Very clear. Jadi, yang terjadi adalah dia periksa anaknya di RSPI pada 28 Maret 2014. Sebelumnya, pada 22 Maret dia ke Klinik Medika SOS dan 24 Maret ke RSCM. Namun, kembali lagi, yang paling krusial itu adalah apakah ada tanda atau bukti penetrasi tidak? Adanya luka di dalam itu adalah hal lain. Hasil pemeriksaan pada anus menyatakan tidak ada kelainan atau perabaan. Berdasarkan anuscopy, ada lecet dan nanah pada rectum distal (bagian dalam). Kemudian, dia diminta datang satu minggu lagi sebagai follow up. Apakah dia datang? Dia enggak datang.
Apakah dua guru sudah menjalani pemeriksaan herpes?
Setahu saya, dua guru itu bersih. Dia sudah periksa di Klinik SOS sebelum diperiksa polisi.
Cleaner sudah mencabut BAP karena ada pemaksaan. Apakah dua guru JIS mengalaminya?
Tidak mengalami karena sejak awal didampingi kuasa hukum. Namun yang pasti, guru itu beberapa kali dibawa pergi oleh polisi tanpa kuasa hukum. Polisi berpendirian mereka didampingi kuasa hukum kalau dilakukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Polisi ikut merekayasa?
Saya tidak tahu. Ini memang tanda tanya besar. Siapa yang bermain? Mudah-mudahan hakim bisa melihat ini secara jernih. (RED)