sofiyanzahid2PRIBUMINEWS – Hampir delapan tahun lalu, tepat 7 September 2007, si tukang cerita tipe sohibul hikayat yang kesohor  di kalangan masyarakat Betawi khususnya dipanggil menghadap Ilahi. Dialah Akhmad Sofiyan M Zahid, satu-satunya tukang cerita Betawai yang tersisa, yang pada tahun 2005 dapat Penghargaan Kebudayaan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang panitianya diketuai filsuf Prof Dr Toety Heraty. Akhmad Sofiyan M Zahid dinilai telah menunjukkan dedikasi, konsistensi, keunikan, inovasi, dan kemampuan dalam pengembangan daya cipta kumulatif sepanjang masa, suatu warisan budaya, khususnya sastra lisan Betawi.

Tradisi menuturkan cerita memang menjadi fenomena di seluruh dunia sejak zaman dulu, bahkan setelah kertas, tinta, dan mesin cetak ditemukan. Begitu pula di Nusantara. Tak ketinggalan di Batavia atau Betawi,

Dalam Tjerita Njai Dasima terbitan 1896 karya G Francis, misalnya, ada petikan yang menyiinggung keberadaan tukang cerita. Alkisah, pada malam ketika akan dibunuh, Dasima diajak suaminya, Samiun, menghadiri undangan pernikahan.

Rame deh, Nyi”, kata Samiun, ”Ade tukang cerite. LakonnyeAmir Amje.”

Dalam perjalanan menuju ke tempat pesta penikahan itulah Dasima dicegat dan kemudian digorok jago bayaran, Bang Puase.

Oleh para kritikus sastra Indonesia, Tjerita Njai Dasima sendiri dijadikan penanda mulainya era baru kesusastraan Melayu, cikal-bakal kesusastraan Indonesia modern.

Ketika Batavia berubah menjadi Jakarta, yang secara kemudian menjadi salah satu kosmopolitan dunia, tukang cerita ternyata masih digemari masyarakat. Tukang cerita yang kesohor di tanah Betawi, ya, itu: Akhmad Sofiyan M Zahid atawa bisa dikenal sebagai Sofiyan Zahid. Sebelum Sofiyan Zahid, yang tersohor dan menjadi legenda dalam jagat tukang ceita adalah ayahnya, M Zahid bin Mahmud.

Tahun 1930-an, masa kejayaan tukang cerita di Betawai dipegang Ja’far. Beliau kira-kira bertahan selama 30 tahun, sampai tahun 1960-an. Barulah setelah itu nimbul kejayaan M Zahid bin Mahmud.

Anak M Zahid, Sofiyan Zahid, lahir di Tanah Abang pada 1940. Sofiyan Zahid mulai belajar untuk menjadi tukang ceita kepada ayahnya sendiri, tahun 1960-an. Ketika itu, sang ayah sudah punya dua murid.

Baru pada tahun 1970, ayahnya memperbolehkan Sofiyan Zahid tampil di muka umum. Sang ayah menyuruh dia naik panggung di kampungnya sendiri, di Gang Masjid, Tanah Abang. Cerita yang dibawakan “Ma’ruf Tukang Sol Sepatu”. Seperti ayahnya, Sofiyan Zahid juga menyisipi ceritanya dengan pelbagai ajaran Islam.

Ketika Sofiyan Zahid manggung untuk pertama kalinya itu, sang ayah tak mau melihat. M Zahid cukup mendengarkan kisah yang dibawakan anaknya, yang sampai ke rumahnya dengan bantuan pelantang.

Ketika sang anak pulang di tengah malam, M Zahid sudah menunggunya.”Lulus lu. Bawa dah kendiri sohibul hikayat,” katanya kepada Sofiyan Zahid.

Memang, murid M Zahid ada tiga orang. Namun, yang paling menonjol, ya, Sofiyan Zahid. Selain punya kelebihan, banyak penikmat menilai cara Sofiyan Zahid membawakan ceita mirip sekali dengan ayahnya. Sampai-sampai, setelah ayahnya wafat pada 9 Januari 1971 dan Sofiyan Zahid mulai menggatikan posisi ayahnya sebagai tukang cerita tetap di Radio Parikesit, banyak pendengar berkirim surat menanyakan, apa yang bercerita itu M Zahid. ”Apa almarhum hidup lagi?” kata sebuah surat.

Untuk urusan pemilihan cerita, Sofiyan Zahid mengikuti jejak ayahnya, tidak membawakan cerita “Seribu Satu Malam”. Ia memilih cerita saduran dari Hikayat Melayu. Sedikitnya ada 20 cerita yang biasa dibawakan Sofiyan Zahid. Ia juga mengembangkan cerita sendiri, seperti “Ma’ruf Tukang Sol Sepatu dan Istrinya Si Romlah” dan “Panah Sakti”.

Masa kejayaan Sofiyan Zahid berlangsung pada 1970 sampai 1980-an. Banyak radio yang mengontrak dirinya untuk menjadi pengisi acara tetap. Dekade 1990-an, ketika televisi swasta hadir, ia pun merambah dunia televisi. Meski kemudian baik radio maupun televisi jarang menampilkan dirinya lagi, masih saja ada order bagi Sofiyan Zahid untuk tampil langsung di tengah masyarakat.

Setelah hampir delapan tahun Sofiyan Zahid wafat, kini baru ada lagi penerusnya. Namanya Yahya Andi Saputra, seorang mantan wartawan yang juga sejarawan lulusan Universitas Indonesia. Bang Yahya, begitu biasa ia disapa, juga punya latar belakang teater. Dia pernah menjadi aktor andalan Teater Pagupon Universitas Indonesia dan juga Teater Tetas yang bermarkas di Bulungan, Jakarta Selatan.

Banyak yang menyukai cara Bang Yahya menuturkan cerita. Semoga saja kepiawaian dan kejayaan M Zahid dan Sofiyan Zahid bisa diteruskan oleh Bang Yahya. Tabek, Bang! (Pur/PRIBUMINEWS.COM)