RAJAKARTASATU — Diperlakukan seenak-enaknya oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika plus Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), sejumlah pengelola situs Islam online yang diblokir dua lembaga itu mengadu ke wakil rakyat di Komisi I DPR, Rabu (1/4). Menurut Aendra Medita dari voa-islam.com, dua lembaga itu sudah sangat keterlaluan karena bukan saja melecehkan kebebasan berpendapat, tapi juga mengabaikan prinsip negara ini sebagai negara hukum dan juga bertindak semena-mena tanpa membuka ruang dialog. Karena itu, lanjut Aendra, pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk mempermasalah pemblokiran tersebut.

“Kami berpikir untuk menempuh jalur hukum. Tapi nanti setelah ini,” ungkap Aendra sebelum bertemu dengan para wakil rakyat.

Kepada para wakil rakyat, Aendra dan 21 pengelola situsonline lain mempertanyakan, bagian mana dari situs mereka yang dimaksud menyebarkan paham radikalisme. “Di mana radikalismenya?” ujar Aendra di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta.

Sementara itu, Mahyadi dari hidayatullah.com  menampik tudingan bahwa dia dan rekan-rekannya menghasut umat untuk masuk ke ISIS. Justru media mereka menolak ISIS. “Katanya kami hasut masyarakat Indonesia bergabung ke ISIS. Kami kritis ke ISIS. Kami sampaikan hati-hati, pikir ulang kalau mau gabung ke sana. Kenapa dikatakan seperti itu?” ujar Mahyadi.

Memang, ia dan pengelola situs yang lain sudah bertemu dengan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris dan aduan mereka akan dikaji. Tapi, mereka tetap meminta agar blokir tersebut dibuka terlebih dulu. “Katanya ‘akan kami dengar, tulis, kaji ulang.’ Kami katakan, sampai kapan kaji ulang sementara kami sudah diblokir. Apa tidak dibuka dulu blokirnya?” kata Mahyadi.

Dalam kesempatan itu, ia juga membantah bila struktur organisasi dan alamat pengelola situsnya dianggap tidak jelas. Hidayatullah.com sudah eksis hampir 20 tahun dan selama ini tidak bermasalah. “Jelas alamatnya, strukturnya. Kami juga sebuah ormas, visi-misi kami jelas. Kami sudah terbit sejak 1996 dan tidak pernah dianggap bermasalah,” ungkapnya.

Ia pun tidak diterima dengan alasan pemblokiran karena dianggap berbahaya. Mahyadi menyatakan adanya dukungan yang besar di media sosial kepada situs-situs yang diblokir itu. “Kami dicemarkan nama baik kami di masyarakat. Katanya berbahaya karena laporan masyarakat ke BNPT. Masyarakat yang mana? Di media sosial banyak yang bela kami, selamatkan media Islam,” tutur Mahladi.

Ditugaskan Mahyadi, jika situs mereka dianggap berbahaya, seharusnya BNPT yang menginstruksikan Kemenkominfo menyebutkan bagian mana yang berbahaya tersebut. “Kalau mereka menilai ada yang mengafirkan seseorang, tolong kasih bukti satu berita saja. Mereka tidak bisa menjawab,” ungkapnya.

Sementera itu, di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI), KH Muhammad al Khaththath, menyatakan sangat tidak setuju serta prihatin atas pemblokiran atas nama apa pun. “Kami meminta kepada pihak yang berwewenang agar segera mencabut blokir tersebut. Sebab, kami memandang pemblokiran tersebut sangat tidak beralasan, baik secara syar’i maupun konstitusional,” katanya.

Pemblokiran atas situs dengan alasan menyebarkan radikalisme, apalagi pendukung gerakan radikal, tambahnya, jelas tidak ada dasar hukum untuk melaarang mereka dan lebih merupakan sentimen politis. “Pemblokiran situs tersebut jelas sangat bertentangan dengan kebebasan berpendapat, berkomunikasi, dan memperoleh informaasi yang dijamin Pasal 28 E ayat 3 dan 28F UUD 1945 serta semangat reformasi, keterbukaan, dan kebebasan pers. Secara syar’i, blokir tersebut bertentangan dengan ayat Alquran mengenai pentingnya mendapatkaan ilmu pengetahuan dan dapat dinilai sebagai upaya memadamkan cahaya Allah,” ungkap Muhammad.

Jika situs-situs itu diblokir karena sering memberitakan tentang jihad di Suriah dan lain-lain, lanjutnta, sungguh kebiijakan itu tidak ada dasar hukumnya sekaligus  melanggar Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme. “Karena, dalam fatwa tersebut dibolehkan seorang muslim melakukan amal istisyhad [mencari kesyahidan] di daerah perang seperti di Suriah, apalagi cuma memberitakan,” ujar Muhammad.

Kemenkoinfo tampaknya memang harus menjelaskan apa yang dimaksud radikalisme menurut versi mereka. Karena, reformasi, bahkan kemerdekaan negeri ini, juga tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya gerakan radikal dari para pejuang. Tidak mungkin ada reformasi pada 1998 lalu bila mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia hanya melakukan kajian ketimpangan sosial-politik di dalam kelas, tidak melakukan aksi radikal di jalan-jalan dan bahkan di Gedung DPR/MPR. Juga bangsa ini tidak akan merdeka kalau para pejuang hanya melakukan perjuangan di meja-meja perundingan tanpa melakukan aksi radikal di berbagai daerah di Indonesia. (Tyo/Pur/PRIB)