JAKARTASATU — Terbetik kabar, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia, SPN, Farkes, FSPPMI, SP Pariwisata, PGRI, SP KEP, dan FSPMI) akan berunjuk rasa di depan Istana Negara pada 9 April 2015 mendatang sekitar pukul 10.00 WIB. Unjuk rasa itu, seperti tertera dalam pesan pendek yang diterima wartawan, merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah Joko-JK yang cenderung menjalankan pemerintah mengikuti pahak neo-liberalisme.
“Jangan kelamaan tidurnya. Saatnya bangun untuk melawan!” ungkap seruan tersebut.
Sementara itu, pada Kamis pagi ini (2/4), mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura, Jawa Timur, akan melangksukan unjuk rasa di DPRD Bangkalan. Mereka akan mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah Joko-JK, yang mereka nilai telah mendapatkan rapor merah.
Sebelumnya, pada Rabu kemarin (1/4), mahasiswa di Riau menduduki Gedung DPRD RI sampai ke dalam ruang sidang, sebagai bentuk protes kepada pemerintah Joko-JK. Mereka berdmontrasi sambil meneriikan yel-yel “Reformasi Jilid II”.
Pada hari yang sama, mahasiswa di Aceh dan Palembang juga berunjuk rasa. Tuntutan mereka sama: copot kepemimpinan Joko sebagai kepala negara. “Baru berapa bulan menjabat, pemerintahan Jokowi-JK telah membuat kondisi Indonesia gawat darurat,” ujar Heru, Koordinator Aksi Mahasiwa Palembang.
Menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan Indonesia Development Monitoring selama lima bulan belakangan ini, Joko memang dinilai oleh masyarakat sudah tidak layak memimpin Indonesia. Karena, kebijakan ekonomi yang Joko buat terbukti menyulitkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah. Jika Joko tetap dipertahankan, ungkap hasil jajak pendapat tersebut, kehidupan masyarakat akan semakin sulit dan tidak akan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dijelaskan Direktur Bidang Ekonomi dan Bisnis Indonesia Development Monitoring, Iwan Sumule, pengumpulan hasil pendapat dilakukan dengan metoda kualitatif, dengan wawancara tatap muka kepada masyarakat yang dijadikan sebagai informan, yang tersebar di pedesaan, perkotaan, kabupaten, provinsi, dan ibu kota. Informan yang dipilih adalah masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Kelas menengah terdiri dari masyarakat yang berpenghasilan Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan, dengan latar belakang sebagai pegawai negeri, guru, pekerja kantor, pemilik toko dengan ukuran sedang, dan pemilik restoran. Latar belakang pendidikan mereka paling rendah SMA. Jumlah informan kelas menengah ini 100 orang.
Akan halnya informan dari masyarakat bawah sebanyak 200 orang, dengan latar belakan pendidikan lulusan SMA sampai dengan SD. Pekerjaan mereka adalah guru, sopir taksi, sopir angkot, pedagang asongan, tukang ojek, tukang gorengan, tukang bakso, tukang becak, buruh pabrik, petani, dan nelayan, yang berpendapatan rata-rata di bawah Rp 5 juta dalam sebulan.
Iwan mengungkapkan, dari para informan tersebut diperoleh kesimpulan, kebijakan ekonomi yang dijalankan Joko mengakibatkan masyarakat dengan ekonomi menengah sudah tidak bisa lagi menyisihkan pendapatannya sebagai tabungan. Bahkan, sebagian dari mereka harus membongkar tabungan untuk menutupi berbagai tagihan, seperti kartu kredit, tagihan kredit rumah, dan tagihan kredit kendaraan bermotor.
“Ini akibat pendapatan mereka tergerus oleh mahalnya biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok, transportasi, biaya air bersih, biaya listrik, biaya pendidikan anak, dan biaya leisure keluarga per bulan yang hanya jalan-jalan ke tempat-tempat kuliner yang biasanya hanya menghabiskan Rp 300 ribu meningkat menjadi Rp 600 ribu,” kata Iwan, Selasa lalu (31/3).
Bagi masyarakat bawah, kebijakan pemerintahan Joko membuat penghasilan mereka menurun hingga 30%. Hal ini dialami tukang bakso, tukang mi ayam, tukang ojek, sopir taksi, dan sopir angkot akibat berkurangnya konsumen mereka dan mahalnya produk dan jasa yang mereka jual.
Untuk masyarakat kelas bawah seperti buruh pabrik, mereka mengalami upah mereka semakin tergerus hingga 25% akibat kebijakan Joko yang menambah beban ekonomi buruh. Para buruh mengeluhkan kehidupan keluarga mereka tidak berkualitas akibat banyak keluarga buruh mengatur pendapatan mereka secara ketat. “Di antara mereka banyak yang mengonsumsi nasi dengan lauknya mi instan,” ujar Iwan Sumule.
Para informan itu juga menilai keamanan sudah semakin tidak kondusif dengan banyaknya aksi begal. Terkait urusan politik luar negeri, selain menganggap posisi Joko sangat lemah, mereka juga menilai Joko penakut dan tunduk kepada negara lain. Itu tercermin dari sikap menunda-nunda eksekusi mati terpidana narkoba karena kecaman Australia.
Terkait politik dalam negeri, mereka percaya Joko memecah-belah internal partai politik untuk mendapatkan dukungan yang lebih banyak di parlemen. Tapi, masyarakat yakin tindakan Joko ini percuma saja dan malah akan semakin membuat Joko sebagai boneka.
Joko juga dianggap tidak akan mampu memenuhi janji-janji kampanyenya di pilpres lalu. Masyarakat mengaggap Joko sangat pro-asing dan lebih layak disebut seperti pedagang dibandingkan sebagai presiden. “Karena itulah masyarakat menginginkan Jokowi dilengserkan karena banyak melanggar undang-undang,” tutur Iwan Sumule. (Ron/Ton/Pur/PN)