Ahok/Net

JAKARTASATU – Sebagai kelanjutan dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Tahun Anggaran 2014, pihak pemprov harus bisa mengembalikan kerugian negara hingga 80%. Kepala Inspektorat DKI Lasro Marbun mencatat, ada 70 temuan dan 313 rekomendasi dengan nilai Rp 495 miliar di 43 satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang harus dikembalikan ke kas daerah. “Target kami kembalikan 80 persen dari laporan keuangan tahun 2014, nilainya sekitar Rp 495 miliar. Ini harus dikembalikan dan dipertanggungjawabkan,” ujar Lasro di Balai Kota, Senin lalu (13/7).

Menurut ahli hukum pidana yang merupakan konseptor Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Romli Atmasasmita, pengembalian uang tersebut tak menghilangkan unsur pidananya. “Ketika uang negara dikembalikan, merupakan bukti-hukum ada kerugian negara yang diakui. Mens-rea sudah terjadi ketika tidak dipatuhi rekomendasi BPK RI,” kata Romli lewat akun Twitter-nya, Rabu malam lalu (15/7). Mens-rea adalah istilah ilmu hukum, yang lebih kurang artinya ‘elemen mental’, sikap batin pelaku ketika melakukan perbuatan.

Seperti telah banyak diberitakan, BPK memberikan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) kepada Laporan Keuangan Pemprov DKI Tahun 2014 karena BPK mendapatkan 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun yang berindikasi merugikan daerah dan berpotensi merugikan daerah. Program yang berindikasi merugikan daerah senilai Rp 442 miliar dan yang berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun.

BPK juga menemukan kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Juga ada beberapa temuan yang disorot BPK dan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Temuan itu adalah aset seluas 30,88 hektare di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Selain itu, pembelian tanah dari Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai. “Ada indikasi kerugian senilai Rp 191 miliar,” kata anggota BPK, Moermahadi Soeja Djanegara.

Soal urusan tanah itu bukan hanya soal harga,  yang oleh Ahok di banyak media dikatakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah tersebut sebesar Rp 20 juta per meter persegi. Padahal, menurut audit BPK, dengan mengutip data dari Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI Jakarta, NJOP tanah itu pada 2014 hanya Rp 7,44 juta per meter persegi.

Karena, ternyata, diungkapkan pula BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta, lokasi tanah seluas 3,64 hektare tersebut bukan berada di Jalan Kyai Tapa, melainkan di Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat. Karena itu pula, BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta mengatakan pembelian tanah itu seharga Rp 755,69 miliar oleh Pemprov DKI Jakarta tidak tepat. “YKSW terindikasi tidak transparan dalam menawarkan harga tanah, karena fisik tanah di Tomang Utara ditawarkan dengan NJOP Jalan Kyai Tapa,” tulis BPK dalam dokumen laporan hasil pemeriksaan. YKSW  adalah singkatan dari Yayasan Kesehatan Sumber Waras, yayasan yang menangungi Rumah Sakit Sumber Waras.

Dengan begitu, implikasinya, kalau sewaktu-waktu timbul masalah hukum dan sengketa, dapat dirugikan adalah Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, akses jalan justru masih dikuasai YKSW. Tambahan pula, lokasi yang berada di arteri Tomang Utara dinilai tidak strategis.

Pihak PT Ciputra Karya Unggul (CKU), yang menjalin kesepakatan jual-beli melalui Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (APPJB) senilai Rp 15,5 juta per meter persegi setara Rp 564,34 miliar, menyadari hal tersebut. Tapi, aneh bin ajaib, Ahok seakan tak mau peduli dengan masalah ini.

Selain itu, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK juga mengungkapkan, lokasi tanah tersebut tidak siap pakai. Karena, ada sejumlah bangunan yang masih berdiri di tanah itu, yaitu tiga unit bangunan empat lantai, tiga unit bangunan dua lantai, dan sembilan unit bangunan satu lantai milik YKSW. Areal tanah juga diindikasi rawan banjir, sulit dijangkau, dan rawan macet. Juga jauh melebihi kebutuhan minimal yang 2.500 meter persegi.

Keanehan lain, YKSW ternyata menunggak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah tersebut. Bahkan, saat penandatanganan akta penglepasan hak pada 17 Desember 2014 dan Pemprov DKI Jakarta membayar Rp 755,69 miliar pada Desember 2014, YKSW masih menunggak PBB Rp 6,61 miliar. Pembayaran pokok pajak terutang pada 2013 dan 2014 sebesar Rp 3,53 miliar baru dibayar oleh YKSW pada 23 Maret 2015, atau beberapa bukan setelah Pemprov DKI membayar tanah tersebut.

LHP BPK juga mengungkapkan, harga yang dibayar oleh Pemprov DKI Jakarta adalah harga yang katanya menurut NJOP 2014, yakni Rp 20,75 juta per meter persegi, tapi YKSW hanya membayar PBB senilai setengah dari NJOP 2014 itu atau Rp 10,38 juta per meter persegi.

Menurut Koordinator Garuda Institute, Roso Daras, jual beli antara YKSW dan Pemprov DKI juga aneh. Karena, penawaran oleh YKSW disampaikan 7 Juli 2014 dan langsung direspons langsung Ahok sehari kemudian, 8 Juli, dengan mendisposisikan ke Kepala Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014.

Yang juga perlu dicermati: tanah 3,64 hektater itu bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998, dengan masa berlaku 20 tahun alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik negara. Tapi, mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak menggubris hal ini?

“Kenapa Ahok ngebet betul membeli tanah itu? Apakah kalau dia memakai uang pribadi akan mengambil putusan yang sama seperti saat dia jadi gubernur?” ujar Roso lewat siaran pers-nya, Ahad (12/7).

Bukan hanya itu. BPK juga menemukan Pemprov DKI mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar. Temuan lain dari BPK yang perlu diwaspadai Pemprov DKI adalah penyertaan modal dan aset ke PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.

Tapi, yang kemudian dipersoalkan Ahok bukannya audit BPK yang menyangkut uang rakyat yang sangat besar nilainya itu, tapi malah soal pertanyaan auditor BPK terkait uang operasional dan uang makannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau tanya operasional menteri-menteri diperiksa sampai uang cabai dan beras enggak?” katanya.

Ia juga malah meminta anggota BPK melakukan pembuktian harta terbalik berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor. “Saya mau nantang semua pejabat di BPK yang ada, bila perlu buktikan pajak yang kalian bayar, harta kalian berapa. Biaya hidup kalian, anak-anak Anda kuliah di mana? Kalau enggak bisa buktikan, enggak boleh jadi anggota BPK, enggak boleh periksa orang karena kalian bisa ada unsur masalah,” tutur Ahok. Ia juga menuding BPK ada “main” dengan DPRD DKI Jakarta terkait laporan hasil pemeriksaan tersebut.

Menurut Romli, pernyataan-pernyataan Ahok di media terhadap BPK itu merupakan penistaan tehadap lembaga negara karena BPK bertugas atas mandat UUD 1945 dan undang-undang. “Penistaan terhadap lembaga negara dapat diancam pidana sesuai KUHP,” tulis Romli lewat akun Twitter-nya, Selasa lalu (14/7). (Ton/Pur/SUMBER: www.pribuminews.com)