JAKARTASATU – Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri, untuk dugaan honor korupsi Tim Pembina RSUD Muhammad Yunus tahun 2011. “Penetapan tersangka itu berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan hari ini,” kata Kepala Subdirektorat I Tipikor Bareskrim Polri Kombes Adi Deriyan di Kompleks Mabes Polri, Selasa kemarin (14/7).
Gelar perkara dilakukan bersama penyidik Polda Bengkulu, yang sebelumnya sudah mengumpulkan keterangan dari 17 saksi dan empat ahli. “Dari situ akhirnya diputuskan saudara JH sebagai tersangka,” ujar Adi. Kerugian negara saat ini, tambahnya, sedang dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tapi, estimasi kerugian negara yang bisa dimunculkan dari kasus ini senilai Rp 359 juta.
Bandingkan dengan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Seperti telah banyak diberitakan, BPK memberikan opini Wajar dengan Pengecualian kepada Laporan Keuangan Pemprov DKI tahun 2014 karena BPK mendapatkan 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun yang berindikasi merugikan daerah dan berpotensi merugikan daerah. Program yang berindikasi merugikan daerah senilai Rp 442 miliar dan yang berpotensi merugikan daerah sebanyakRp 1,71 triliun.
BPK juga menemukan kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Juga ada beberapa temuan yang disorot BPK dan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Temuan itu adalah aset seluas 30,88 hektare di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Selain itu, pembelian ngadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai. “Ada indikasi kerugian senilai Rp 191 miliar,” kata anggota BPK, Moermahadi Soeja Djanegara.
Bukan hanya itu. BPK juga menemukan Pemprov DKI mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar. Temuan lain dari BPK yang perlu diwaspadai Pemprov DKI adalah penyertaan modal dan aset ke PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
Tapi, yang kemudian dipersoalkan Ahok bukannya audit BPK yang menyangkut uang rakyat yang sangat besar nilainya itu, tapi malah soal pertanyaan auditor BPK terkait uang operasional dan uang makannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau tanya operasional menteri-menteri diperiksa sampai uang cabai dan beras enggak?” katanya.
Ia juga malah meminta anggota BPK melakukan pembuktian harta terbalik berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor. “Saya mau nantang semua pejabat di BPK yang ada, bila perlu buktikan pajak yang kalian bayar, harta kalian berapa. Biaya hidup kalian, anak-anak Anda kuliah di mana? Kalau enggak bisa buktikan, enggak boleh jadi anggota BPK, enggak boleh periksa orang karena kalian bisa ada unsur masalah,” tutur Ahok.
Anehnya, sampai sekarang, Ahok masih dibiarkan tenang-tenang saja dan bahkan, seperti kata ahli hukum pidana yang menjadi konseptor Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Romli Atmasasmita, Ahok juga melakukan penistaan lembaga negara dengan pernyataan-pernyataan terhadap BPK. “Yang ganjil, BPK RI, lembaga tinggi negara sejajar dgn presiden, MPR, dan DPR, bisa-bisanya ‘disemprot’ seorang gubernur! BPK RI satu-satunya berdasarkan konstitusi dan undang-undang yang berwenang audit kementerian/lembaga negara, kok, bisa dipandang tidak kredibel di mata seorang gubernur! Jika tidak KPK, Kejaksaan Agung harus masuk melakukan penyelidikan dan penyidikan karena terkait dana-dana APBD dan Undang-Undang Keuangan Negara dan indikasi tipikor. Pernyataan-pernyataan Gubernur Dki di media terhdp BPK RI merupakan penistaan terhadap lembaga negara karena mereka bertugas atas mandat UUD 1945 dan undang-undang. Penistaan terhadap lembaga negara dapat diancam pidana, sesuai KUHP,” tulis Romli lewat akun Twitter-nya, Senin lalu (13/7).
Pada Rabu ini (15/7), lewat akun Twitter-nya juga, Romli kembali menyoal masalah Ahok tersebut. “KPK, Kejagung, Bareskrim harus segera sidik kerugian negara dengan nilai Rp 7 triliun dari APBD Pemda DKI. Jika tidak, jelas diskriminatif! Perbedaan suap dan korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor: suap tidak ada unsur kerugian negara; dalam korupsi, unsur menentukan. Kasus di Sumut jelas suap. Saya katakan diskriminatif karena gubernur-gubernur lain sudah ditetapkan tersangka ketika ditemukan unsur kerugian negara dan masuk ranah Undang-Undang Tipikor. Gubernur Bengkulu tersangka karena negara rugi Rp 365 juta; di Pemda DKI, negara rugi Rp 7 trilun menurut BPK, aneh, tidak ada langkah konkret!” kata Romli.
Rencananya, kerugian negara itu akan dikembalikan oleh Bendaharawan Pemda DKI Jakarta. Memang, kata Romli lagi, menurut Undang-Undang Nomor 15/2004 junctoUndang-Undang Nomor 5/2004, kerugian dapat dikembalikan. Tapi, lanjut Romli lagi, menurut Pasal 4 Undang-Undang Tipikor, “mengembalikan kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan”. Lagi pula, dari mana Pemda DKI punya uang sebesar itu untuk mengembalikan kerugian negara tersebut?
Kita lihat saja, apa Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso punya nyali untuk menjadikan Ahok seperti Gubernur Bengkulu itu. Mestinya jenderal yang kini populer dengan nama panggilan Buwas itu berani. Karena, Buwas kepadaPribuminews.com dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu pernah mengatakan, ia memang tidak memiliki rumah pribadi, tapi sudah punya lahan makam 1 meter x 2 meter untuk dirinya sendiri. Kalau sudah siap untuk mati, tentu saja tak ada alasan untuk takut bagi seorang Komisaris Jenderal Budi Waseso. (Ron/Ton/Pur/PRIBUMINEWS.COM)