JAKARTASATU – Mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ramelan SH mengatakan, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru Jakarta Intercultural School (JIS), Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, menunjukkan bahwa bukti-bukti yang digunakan dalam putusan pengadilan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan, sangat lemah dan sangat dipaksakan.
Menurut Ramelan, putusan Pengadilan Tinggi pasti telah
mempertimbangkan seluruh proses persidangan di tingkat pertama, apakah telah dilakukan sesuai ketentuan atau tidak. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pasti telah memeriksa apakah bukti-bukti yang digunakan selama proses persidangan di pengadilan pertama telah ada dan didukung keterangan saksi dan keterangan ahli.
“Bila putusannya membebaskan terdakwa, hal itu menunjukan kalau
pembuktian (di pengadilan pertama) tidak jelas, tidak sesuai ketentuan
dan lemah,” kata Ramelan kepada Media di Jakarta, Senin (24/8).
Untuk itu, sudah tepat bila hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
menganulir putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus dua guru JIS karena pembuktiannya lemah dan cermat.
Salah satu kelemahan lain di kasus tersebut adalah pengajuan tuduhan
tanpa disertai saksi fakta yang melihat langsung kejadian. Tidak ada
saksi dan bukti yang memperkuat peristiwa sodomi seperti yang
dituduhkan tersebut benar terjadi. “Padahal dalam hukum acara pidana, saksi yang melihat itu sangat penting,” kata Ramelan.
Pada 14 Agustus lalu, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dari vonis 10 tahun yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menilai putusan pengadilan PN Jaksel tidak cermat dan tidak matang dalam pembuktian.
Pengamat hukum dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menilai
kesimpulan hakim di PN Jakarta Selatan yang memvonis terdakwa pidana kurungan 10 tahun, banyak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. “Saya sudah pelajari berkas putusan PN Jakarta Selatan, ada beberapa poin yang tidak sesuai. Misalnya, Hakim tidak menggunakan hasil medis rumah sakit Singapura dengan alasan tidak ada perjanjian bilateral. Ini kan aneh kalau hakim berpendapat seperti itu. Padahal keadilan itu universal. Yang namanya bukti dari negara lain untuk mendukung persidangan, ya boleh. Tidak ada ketentuan hukum yang melarang hal itu,” katanya.
Fahrizal juga heran dengan alasan hakim tentang kejadian sodomi
terhadap MAK, DA dan AL hanya dari pengakuan anak tersebut. Padahal hakim harus merangkai bukti tambahan sehingga menjadi utuh.
Selain itu, saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak kredibel. Ada ahli yang masih menggunakan teori lama, ada ahli yang juga melakukan konseling dengan salah satu anak sehingga tidak independen.
Kejanggalan lainnya, kata dia, mustinya Majelis Hakim di PN Jakarta
Selatan memakai hasil rekam medis dari SOS Medika, RSCM, RSPI dan dari RS KK Women’ and Children’s Hospital Singapura, yang menyatakan kondisi lubang pelepas AL tetap normal dan tidak mengalami luka.
Pemeriksaan rumah sakit di singapura ini dilakukan secara lebih
komprehensif dengan menggunakan metode anuskopi yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dokter psikologi.
Dengan hasil medis tersebut, pengadilan di Singapura memenangkan
gugatan pencemaran nama baik Neil Bantleman, Ferdinant Tjiong dan JIS terhadap DR, sebagai ibu AL. DR diwajibkan membayar ganti rugi 230 ribu dollar Singapura atau sekitar Rp2,3 miliar.(TS/JKST)