Oleh Abdullah Sammy,Redaktur Republika
John Grosvenor Rowland. Nama politikus Partai Republik di Amerika Serikat ini sempat menjadi buah bibir.
Pada tahun 1994, Rowland mencatat sejarah sebagai gubernur termuda Connecticut usai memenangi pemilu dengan suara 36 persen.
Sosoknya yang masih muda, 37 tahun, serta dukungan luas media membuatnya dicitrakan sebagai calon rookie untuk maju di pentas nasional kelak. Dia tiga kali memenangi pemilu gubernur. Memasuki masa jabatan ketiganya, Rowland bahkan mulai digadang-gadang oleh media sebagai calon presiden atau wakil presiden Amerika mendatang.
Namun, kepemimpinan yang selama tiga periode dipoles oleh pencitraan di media ini berakhir dengan bencana besar.
Skandal korupsi menghantamnya. Tak hanya itu, berbagai kasus suap pun bertubi-tubi menimpanya.
Karier Rowland pun berakhir tragis. Ibarat dari hero to zero, Rowland mengundurkan diri pada 2004, kini kegiatannya harus keluar masuk penjara.
Apa yang diawali Rowland membuktikan kalimat populer yang pernah diucapkan John Emerich Edward Dalberg-Acton, ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.’ (Kekuasaan berpotensi untuk korup dan kekuasaan yang mutlak adalah korupsi yang absolut).
Apa yang terjadi di Connecticut tentunya tak pernah kita hendaki terjadi lagi di Indonesia. Cukup sudah, bau busuk sebuah kekuasaan tertutupi berita harum media.
Kekritisan media yang luntur bisa memang menjadi awal dari segala bencana, layaknya di Connecticut. Indonesia pernah mengalami fase itu di orde yang lalu. Media ‘dininabobo-kan’ oleh dongeng kinerja penguasa.
Cerita rekayasa yang kedap dilempar untuk menutupi kekurangan yang terjadi di sana-sini. Ya, fase itu pernah kita alami. Dan mudah-mudahan ini tidak sedang terjadi lagi.
Hanya keledai bodoh tentunya yang terjatuh di lubang yang sama. Ini tentu mesti terus dicamkan dalam membina kehidupan bernegara. Sebab sebuah kritik akan jauh lebih berguna bagi penguasa dibanding sejuta puja di media.
Kritik pada akhirnya bukan sekadar jadi keniscayaan tapi jadi kewajiban untuk mengontrol arah kekuasaan.
Sudut pandang kritis ini tentu mesti diarahkan secara tepat. Ini terutama dalam membahas kebijakan publik sang pejabat yang memiliki sekala pengaruh besar.
Kini, salah satu kebijakan di Indonesia yang sedang jadi sorotan tajam adalah keputusan gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama soal reklamasi Teluk Jakarta.
Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta kini terseret dengan dugaan kasus suap yang menjerat anggota DPRD DKI, M Sanusi dan perusahaan proyek reklamasi. Dugaan suap ini terkait dengan Raperda Zonasi wilayah Teluk Jakarta yang akan menentukan peruntukan di pulau lokasi reklamasi.
Sejatinya Raperda ini adalah usulan dari kantor gubernur DKI, dalam hal ini Gubernur Basuki, alias Ahok. Raperda Zonasi akan jadi kunci utama dalam memulai megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta yang total nilainya ditaksir mencapai Rp 500 triliun.
Masalah utamanya adalah Perda Zonasi itu belum pernah ada, sedangkan izin reklamasinya sudah diterbitkan Ahok. Bahkan konon, sudah ada ruko yang berdiri dan sudah mulai dipasarkan di pulau reklamasi.
Padahal hal ini berpotensi menabrak isi Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 yang menyebut mesti ada rencana zonasi berbentuk perda, baru izin pemanfaatkan sumber daya di pesisir bisa dilakukan, dalam hal ini reklamasi. Yang terjadi di DKI kini justru sebaliknya.
Sekalipun Ahok kini dapat pembelaan dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menyatakan reklamasi Teluk Jakarta bisa dijalankan tanpa perda zonasi.
Pernyataan Pramono mengacu pada pasal 69 ayat 2 Perpres tentang Penataan Kaawasan Jabodetabekpunjur tahun 2008 yang berbunyi, “Sepanjang rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang berikut peraturan zonasi belum ditetapkan, digunakan Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur sebagai acuan pemberian izin.”
Tapi pada 2014 muncul Undang Undang nomor 1 tentang Pengelolaan Pesisir. Pada pasal 17 ayat 1, UU ini mengamanatkan, izin lokasi untuk memanfaatkan wilayah pesisir harus berdasarkan rencana zonasi. Dan mengacu pada UU nomor 27 tahun 2007 yang menjadi dasar UU nomor 1 tahun 2014, tertera aturan pada pasal 9 ayat 5 yang menyatakan, rencana zonasi ditetapkan lewat peraturan daerah.
Karena itu, Ahok jelas berkepentingan untuk segera mengebut diketuknya pengesahan Raperda Zonasi di DPRD DKI. Jika DPRD mengetuknya, maka kebijakan reklamasi bisa langsung dijalankan.
Potensi pelanggaran Undang-Undang bisa diselamatkan. Sebab Ahok hanya perlu menerbitkan ulang izin lokasi dan pelaksanaan reklamasi setelah keluarnya Perda Zonasi.
Namun di saat proses pembahasan Raperda di DPRD, kasus suap dibongkar KPK. Raperda pun tertunda.
Bagi Ahok, tertundanya pembahasan raperda akan sangat merugikan rakyat dan menguntungkan pengusaha. Dia beralibi Perda Zonasi akan meningkatkan kewajiban pengusaha membayar kompensasi sebesar 15 persen dari nilai aset reklamasi. Ini untuk kepentingan membangun fasilitas umum di DKI.
Pada titik ini mati kita bedah argumentasi Ahok.
Mengapa Ahok mengatakan perusahaan akan diuntungkan tanpa adanya Raperda Zonasi?
Jawabannya karena dalam ketentuan hukum yang ada saat ini, perusahaan hanya diminta lima persen dari nilai aset reklamasi untuk diserahkan pada pemerintah.
Siapa yang menentukan lima persen? Faktanya Ahok sendiri. Lewat keputusan gubernur (nomor 2238 tahun 2014) yang dia tandatangani, Ahok menginginkan lima persen sebagai komensasi.
Berikut salinan keputusan gubernur soal Reklamasi Pulau G pada poin kompensasi; “Memberikan kontribusi lahan seluas 5% (lima persen) dari total luas lahan areal reklamasi nett yang tidak termasuk peruntukan fasos/fasum untuk diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.”
Ok, marilah kita berprasangka baik. Mungkin saja Ahok khilaf saat menulis lima persen itu dan ingin perbaikan nilai kompensasi menjadi 15 persen. Ahok ingin agar kebijakan 15 persen itu cepat disahkan agar tak merugikan rakyat.
Jika benar ucapan itu adalah maksud Ahok sesungguhnya, mengapa dia tidak menuangkan kewajiban 15 persen itu lewat peraturan gubernur (pergub) yang mana hanya Ahok yang punya wewenang untuk mengeluarkannya?
Ahok sempat menjawab pertanyaan itu. Dia berkata enggan mau mengeluarkan pergub soal peningkatan kewajiban kompensasi reklamasi karena takut kebijakan ini akan mudah dibongkar oleh gubernur setelahnya.
Jujur, jawaban ini agak menggelitik. Begitu jauhnya penerawangan politik Ahok. Di sisi lain begitu percayanya Ahok pada DPRD sehingga memilih membahasnya lewat raperda. Padahal Ahok pernah menyebut DPRD maling semua.
Ok, kita ikuti saja alur pemikiran Ahok itu. Taruhlah, gubernur setelah Ahok nanti pada 2017 berpotensi mengubah pergub. Sehingga Ahok merasa butuh perda untuk menguncinya.
Tapi bukankah dia bisa tetap mengeluarkan pergub terkait kompensasi 15 persen plus dilapis dengan Raperda Zonasi yang isinya menebalkan kewajiban 15 persen itu. Pergub bisa dimaksudkan untuk menjawab kekhawatiran Ahok soal kompensasi 15 persen yang harus cepat ditetapkan. Sedangkan Perda untuk menguncinya agar tak mudah dibongkar ulang.
Tapi hingga kini Ahok tak ada niat untuk melakukan dua kebijakan itu. Jadi sah-sah saja jika orang kemudian berpikiran motif Ahok untuk segera mendorong Raperda Zonasi bukan soal peningkatan kewajiban kompensasi menjadi 15 persen.
Sebaliknya ini bisa jadi adalah usaha penyelamatan diri dari pelanggaran UU nomor 1 tahun 2014 soal kewajiban Perda Zonasi sebelum menerbitkan izin reklamasi. Sebab UU nomor 27 thun 2007 dengan tegas mengamatkan hanya Perda Zonasi sebagai syarat izin setiap kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan tak bisa diganti pergub.
Dan fakta saat ini sudah terbuka bahwa ada izin reklamasi minus adanya Perda Zonasi.
Namun, semua momen mempercepat raperda buyar karena anggota DPRD dari Gerindra, M Sanusi tertangkap tangan oleh KPK. Penangkapan yang bisa menjadi berkah tersembunyi karena menghentikan segala proses pengesahan reklamasi.
Hingga kini detail kasus suap Sanusi masih belum diungkap komisi antirasuah itu. Justru dari bibir Ahok kita mengetahui bahwa kasus Sanusi terkait negosiasi kompensasi antara perusahaan dengan DPRD.
Dari ucapannya, Ahok tentu tahu banyak soal suap seputar Raperda Zonasi ini. Pantaslah bila KPK berencana memanggil pria yang juga calon gubernur pejawat itu sebagai saksi.
Tapi belum juga Ahok dipanggil, pihak Sanusi sudah mulai bernyanyi. Sanusi via pengacaranya, Krisna Murti, justru menuding ada sraf ahli Ahok yang terlibat sebagai penghubung DPRD dengan perusahaan pemegang proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Segala perkembangan kasus ini agaknya menarik untuk disimak. Sebab kemungkinan kasus ini menjadi guliran bola salju sangat besar.
Mulai dari Raperda Zonasi hingga alasan mengeluarkan Izin Reklamasi tentu akan diburu KPK.
Pada akhirnya ada benang merah antara apa yang terjadi di Connecticut dengan DKI. Benang merah itu adalah proses pembangunan yang banyak pencitraan minus kritikan menyimpan bom waktu yang besar.
Jakarta jadi contohnya. Cerita pengelolaan pemerintah yang bersih kini kerap diekspos jadi tanda tanya. Tanda tanya yang ditutupi cerita gebrak meja atau kisah dongeng indah seputar ketegasan penguasa.
Pada akhirnya sebuah pemerintahan yang berjalan minus kritikan bisa disamakan dengan gerbong kereta yang melaju cepat tanpa tuas rem. Gerbong itu pada akhirnya menabrak sana-sini. Aturan ditabrak, rakyat disikat, dan penguasa yang naik gerbong pun tertidur lelap.
Namun ingat kereta yang tanpa rem juga berpotensi terjun ke dasar jurang. Ini terbukti di Connecticut. Seorang yang berreputasi sebagai calon presiden Amerika kini terjun menjadi seorang narapidana. Pengalaman ini bisa terjadi di mana saja, termasuk di negara kita yang tercinta. (rol)