Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz menyatakan transaksi pembayaran atas pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras terjadi setelah habis masa waktu penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI 2014. Hal tersebut menjadi salah satu indikasi adanya pelanggaran hukum dalam pembelian lahan tersebut.

Azhar mengatakan ada transaksi mencurigakan yang terjadi setelah masa habis penggunaan APBD DKI yang jatuh pada akhir bulan Desember 2014.

“Hasil dari kecurigaan pertama bahwa di 31 Desember 2014, ada bukti transfer, ada bukti cek tunai. Ini ada apa-apa. Kenapa ini seperti memaksakan,” ujar Harry dalam diskusi ‘Pro Kontra Audit Sumber Waras’ di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (16/4).

Harry mengatakan, transaksi yang terjadi pada malam hari sekitar pukul 07.00 WIB seolah terkesan dipaksakan. Ia membenarkan bahwa transaksi pembelian lahan setelah tanggal tersebut dianggap tidak sah.

Namun, Harry menuturkan mengapa transaksi yang dilakukan terkait pembelian lahan tersebut tidak dilakukan pada masa waktu penggunaan APBD DKI masih berlaku, yaitu sebelum tanggal 25 Desember 2014. Menurutnya, hal tersebut merupakan kasus pertama yang pernah ditemukan oleh BPK.
“Siapa yang memaksa mesti terjadi. Kenapa tidak dibayar sebelum tutup buku. Itu sudah close, dipaksakan. Mungkin ada hal-hal yang belum diselesaikan,” ujarnya.

Indikasi kedua yang ditemukan oleh BPK yaitu terkait dengan penggunaan cek senilai Rp755 miliar yang digunakan untuk membayar pembelian lahan Sumber Waras. Harry menilai hal tersebut tidak wajar digunakan oleh pemerintah ketika akan melakukan pembayaran.

“Apa itu lazim? Tidak. Kenapa tidak dikirim ke transfer saja. Kenapa mesti Anda bawa,” ujar Harry.

Ia mengaku temuan tersebut telah dimasukan ke dalam laporan audit BPK soal Sumber Waras yang telah diserahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, karena bersifat rahasia, ia enggan menyebut siapa yang membawa cek tersebut.

“Ada di dalam laporan investigasi. Di situ ada orang-orangnya. Ada orang yang memerintahkan. Tapi kami tidak bisa cerita,” ujarnya.

Lebih lanjut, atas dua temuan tersebut, KPK kala itu juga telah memerintahkan BPK untuk melakukan audit investigasi. Salah satu yang dilakukan, kata Harry adalah dengan memeriksa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada November 2015 lalu.

Ia bercerita, kala itu Ahok sempat meminta pihaknya dihadirkan dalam pemeriksaan tersebut untuk merekam segala pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik BPK. Namun, karena alasan hukum, dirinya menolak permintaan Ahok tersebut.

“Mekanisme di BPK seperti itu. Kemudian Ahok datang pribadi. Sembilan jam diperiksa. Hampir setiap jam dia ke kamar mandi,” ujar Ahok.

Sementara itu, setelah memeriksa Ahok, Harry berkata pada Desember 2015 BPK menyatakan dalam investigasi tersebut benar ada kerugian negara.

“Bukan lagi indikasi, sudah pasti kerugian negara itu posisinya,” ujar Harry.

Perbedaan Indikasi dan Kepastian Kerugiaan

Harry menjelaskan audit keuangan yang dilakukan oleh BPK adalah untuk kepentingan publik. Ia menyebut, ada tiga jenis laporan audit yang dikerjakan oleh BPK. Di antaranya audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu atau invertigasi.

Ia mengatakan, audit invertigasi tidak memerlukan penyataan dari pihak yang diperiksa.

“Kalau Anda Gubernur DKI saya periksa, tidak perlu komentar. Kalau keuangan baru sama minta komentar,” ujarnya.

Sebelumnya, perkara RS Sumber Waras menyeret nama Ahok setelah dirinya dilaporkan ke KPK atas kasus jual beli tanah rumah sakit itu. Dari laporan hasil audit penentuan harga beli tanah oleh pemerintah daerah tak melalui mekanisme penilaian yang wajar.

BPK menilai pembelian lahan untuk pembangunan rumah sakit pemerintah seluas 3,7 hektare itu dapat merugikan pemerintah daerah sebanyak Rp191 miliar. BPK menemukan perbedaan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lahan di sekitar RS Sumber Waras yakni di Jalan Tomang Utara dengan lahan rumah sakit itu sendiri di Jalan Kyai Tapa. -cnnindonesia