DPRD DKI Jakarta akan memanggil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) guna memintai keterangan soal permintaan kewajiban tambahan pengembang reklamasi Teluk Jakarta.

Legislator DKI menilai, Gubernur telah melakukan pelanggaran lantaran telah mengetuk kebijakan tanpa dasar hukum jauh dari rencana pembangunan Ibu Kota.

“DPRD DKI berencana memanggil Pak Ahok dan Pemprov DKI soal kewajiban tambahan pengembang reklamasi dan dasar hukum yang digunakan. Setahu saya aturannya ada di Raperda yang batal dibahas,” ujar Anggota Komisi Pembangunan DPRD DKI, Prabowo Soenirman saat dihubungi, Senin (16/05/2016).

Dia mengatakan, permintaan kewajiban tambahan kepada pengembang reklamasi tanpa dasar hukum merupakan suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan seorang pemimpin daerah.

Menurutnya, aturan soal pemenuhan kewajiban, kontribusi, dan kontribusi tambahan pulau reklamasi ditulis dalam Pasal 116 Raperda Kawasan Strategis Pantura yang kini mandek pengesahannya karena kisruh korupsi reklamasi.

Pasal tersebut berisi poin-poin pemenuhan kewajiban dan kontribusi yang harus dibayar pengembang, misalnya menyerahkan 5% dari total hak pengelolaan lahan, membangun sarana dan prasarana.

“Aturan soal penyerahan tambahan kontribusi dihitung sebesar 15% dari nilai jual objek pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual (saleable area) ada di Raperda tersebut. Saya jadi bingung Pak Ahok pakaibeleid yang mana?” katanya.

Sebelumnya, Ahok membeberkan dokumen pertemuannya dengan Ariesman dan beberapa pengembang terkait permintaan kontribusi tambahan.
Rapat tersebut dilakukan pada 18 Maret 2014 sebelum Ahok mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi untuk PT Muara Wisesa Samudra, PT Jaladri Kartika Pakci, PT Jakarta Propertindo, dan PT Taman Harapan Indah.

Ahok mengaku permintaan kewajiban tambahan kepada pengembang sebelum penerbitan izin bisa dilakukan Pemprov DKI melalui proses diskresi.

“Untuk hal teknis harus ada acuan aturan. Apakah Perda, Undang-Undang, atau Peraturan Pemerintah, dan gak bisa sembarangan,” imbuh Prabowo.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja Dirut Agung Podomoro Land, Ariesman Wijaya dan menyita sejumlah dokumen. Dikabarkan salah satunya adalah adanya dokumen soal perjanjian gelontoran uang Rp6 miliar kepada DKI Jakarta.

Dana tersebut untuk membiayai operasional penertiban lokalisasi Kalijodo, termasuk biaya pengerahan personel mulai dari Satpol PP, polisi dan TNI.

Pihak penyidik masih mengumpulkan bukti terkait kasus ini. -rmn