LEGITIMASI PENGGUSURAN
by Zeng Wei Jian
Menurut aktifis 98 Wignyo Prasetyo, “Redistribusi tanah dilakukan Chairman Mao Zedong di Tiongkok.” Alih-alih bagi-bagi tanah, Ahok malah merampas tanah dengan cara menggusur rumah 8 ribu KK.
UUD 45 Pasal 33 ayat 3 mengamanatkan “Bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Zara Zettira benar saat berteriak, “Bukan untuk kemakmuran cukong-cukong property Hok!”
Gubernur Ahok ngawur bila gunakan term “tanah negara” sebagai rasionalisasi, apologetik dan pembenaran aksi perampasan tanah dengan kedok penggusuran “penduduk liar.” Berdasarkan prinsip ius sanguinis dan ius soli, rakyat yang digusur itu jelas warga negara. Mereka manusia, bukan?
Undang-Undang No: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 2 menyatakan Hak menguasai Negara atas Tanah terbatas hanya mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.
Intinya, Hak-hak menguasai Negara atas tanah sejatinya diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Dalam penggusuran Pasar Ikan, Ahok langsung memiskinkan 2 ribu orang (termasuk perempuan & anak kecil). Dengan senjata istilah ngawur “tanah negara”, Ahok jauh dari amanat konstitusional seorang gubernur; “memakmurkan rakyat”.
Taukah Pa Ahok bahwa “penduduk liar” itu bisa memiliki tanah?
Para pendiri negeri telah menetapkan hal tersebut demi untuk memakmuran sebanyak mungkin rakyat. Mekanismenya berdasarkan penerapan “Lembaga Rechtsverwerking” melalui Putusan Pengadilan dan melalui Lembaga Acquisietive Verjaring, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) PP No: 24 Tahun 1997, sepanjang dapat dibuktikan bahwa penguasaan secara fisik atas tanah tersebut selama 20 tahun dilakukan dengan itikad baik dan tidak ada complain dari pihak lain.
Apakah selama Pemerintahan Soekarno, Pemerintahan Soeharto dan seterusnya ada komplen atas tanah kampung aquarium yang ditempati penduduk tersebut? Padahal mereka sudah turun temurun menetap dan mengolah tanah di sana. Ini juga berlaku di lain tempat; Bidara Cina, Kampung Pulo, Bukit Duri, Sewan dan sebagainya.
Publik mesti bertanya kepada Gubernur Ahok. Pertanyaan serupa yang pernah dilayangkan Prof. Yusril Izha Mahendra dan diperkuat tulisan bangFrangky Hamzanov :
“Pemprov DKI tidak dapat membuktikan bahwa di atas tanah tersebut telah melekat hak atas nama Pemprov DKI berdasarkan Sertifikat Hak atas Tanah. Padahal berdasarkan Pasal 49 Undang-undang No: 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, diniscayakan barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. Lagi-lagi Undang-undang tidak menyebut “dimiliki”, tetapi “dikuasai”.”
Tindakan Ahok, dia membenarkan hal ini, yang tidak peduli aturan, merupakan satu dari sekian banyak contoh yang menegaskan bahwa Ahok tidak legitimate sebagai seorang gubernur.
Mungkin netizen Satrio S Prihantoro benar, Ahok mesti belajar dari Sri Paus Fransiskus yang mengatakan, “Bila di tempat tertentu sudah berkembang kawasan kumuh dan berantakan, diperlukan terutama peremajaan kawasan itu, bukan pembongkaran dan pengusiran.”
THE END