Rizal Ramli /doc-jakarsatu.com

JAKARTASATU – Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) Teguh Santosa menyebut pembatalan pembuatan pulau G di lepas pantai utara Jakarta tak memerlukan Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang baru.

“Pembatalan dilakukan karena dalam pelaksanaan reklamasi Pemprov DKI Jakarta bertindak gegabah dan mengabaikan berbagai peraturan sehingga membahayakan lingkungan hidup dan proyek vital strategis yang ada di kawasan itu,” kata Teguh, Sabtu (2/7/2016).

Menurut dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen London School of Public Relations (LSPR) Jakarta itu, dari sudut pandang komunikasi politik, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang keberatan atas pembatalan itu bisa dimaknai sebagai upaya Ahok meminta perlindungan Presiden Joko Widodo dan mengadu domba Presiden Jokowi dan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.

“Yang dikoreksi oleh Menko Kemaritiman dan Sumber Daya bukan Keppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara atau Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Yang dikoreksi adalah cara Pemprov DKI melaksanakan Keppres dan Perpres itu yang terlihat melanggar berbagai aturan, termasuk mengabaikan perikemanusiaan dan perikeadilan,” jelas dia.

Dijelaskan Teguh, di dalam Keppres 52/1995 disebutkan bahwa reklamasi dilakukan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan hidup dan sosial, kepentingan pelabuhan, kepentingan kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-fungsi lain yang ada di kawasan pantai utara. Selain itu, lanjut dia, reklamasi yang dilakukan Pemprov DKI juga melanggar Perpres 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Di dalam Perpres itu disebutkan bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi.

“Sementara teknik reklamasi yang bisa dilakukan adalah dengan pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Jelas bahwa yang paling penting dari reklamasi adalah tujuannya. Apabila teknik yang dipilih malah membuat tujuan reklamasi tidak tercapai, maka perlu dikoreksi,” beber Teguh.

Dalam Perpres 122/2012 juga disebutkan bahwa penentuan lokasi reklamasi berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi. Sementara, Pemprov DKI Jakarta memulai reklamasi sebelum Perda RZWP3K diputuskan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa reklamasi yang dilakukan itu bersifat liar dan cacat hukum.

Menurut hemat Teguh, sebaiknya Gubernur Basuki Tjahaja Purnama kooperatif dalam menyikapi pembatalan itu, dan mengoreksi pendekatan pembangunan yang selama ini dipilihnya, terutama yang terkait reklamasi di pantai utara Jakarta. Tidak elok bila Ahok membawa-bawa Presiden Jokowi ke tengah arena. Juga tidak pantas Ahok mempertanyakan bobot pernyataan seorang Menko yang dapat dipastikan bertindak atas pengarahan dari Presiden.

“Perencanaan dan pelaksanaan reklamasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terlihat tidak rapi dan serampangan, mengabaikan kepentingan yang lebih luas, mengabaikan aspirasi masyarakat. Ini melanggar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik,” tandasnya. -rmn