Jakartasatu.com – Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA) Mirah Sumirat menilai Menteri Ketenagakerjaan RI, Hanif Dhakiri, gagal fokus dalam menyikapi berita membanjirnya 10 juta tenaga kerja asing asal Cina di Indonesia. Gagal fokus yang dimaksud adalah terkait bantahan dan tanggapan Menteri Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa tenaga kerja Indonesia di Cina jumlahnya jauh lebih besar dibanding tenaga kerja asal Cina yang ada di Indonesia.
Dalam berbagai media, Menteri Ketenagakerjaan mengungkapkan data-data perbandingan tenaga kerja Indonesia di berbagai Negara, Hanif Dakhiri mengatakan, “Bandingkan dengan penduduk Malaysia sekitar 31 juta, TKI sekitar 2 juta. Penduduk Singapura sekitar 5,5 juta, TKI sekitar 150 ribu. Penduduk Hongkong (China) sekitar 7 juta, TKI sekitar 153 ribu. Penduduk Korea Selatan sekitar 51 juta, TKI sekitar 58 ribu. Sementara penduduk Taiwan sekitar 23 juta, jumlah TKI sekitar 200 ribu dan penduduk Macau (China) sekitar 642 ribu, jumlah TKI sekitar 16 ribu. Itu hanya kawasan Asia Pasifik, belum termasuk TKI di Timur Tengah, Eropa dan Amerika.”
Dari data di atas, Hanif Dakhiri mengatakan, bahwa jumlah TKI di China (Hongkong dan Macau sekitar 169 ribu) adalah 10 kali lebih besar dari pekerja Tiongkok di Indonesia, yang sekitar 14-16 ribu dalam periode satu tahun. Menteri Hanif Dhakiri juga mengatakan bahwa “Indonesia-lah yang sebenarnya menyerang China dari sisi tenaga kerja, bukan sebaliknya.” Menteri Hanif juga membantah adanya eksodus 10 juta buruh Cina ke Indonesia, dan mengatakan angka 10 juta itu sebagai jumlah wisatawan yang akan masuk ke Indonesia.
Menanggapi sikap Menteri Hanif Dhakiri di atas, perempuan yang pernah duduk di Komite Perempuan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) ini menegaskan, ini bukan soal berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, tapi ini soal penegakan aturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Soal tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, berapapun jumlahnya dan di Negara manapun mereka bekerja, Pemerintah Indonesia wajib memberikan jaminan perlindungan.
“Membandingkan TKI kita di luar negeri dgn TKA di Indonesia adalah hal yang kurang tepat,” katanya melalui keterangan resmi kepada redaksi belum lama ini.
Membanding-bandingkan jumlah tenaga kerja Indonesia di Cina dengan tenaga kerja Cina yang masuk ke Indonesia, hanya semakin menunjukkan kegagalan Pemerintah dalam memberikan jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai amanat Undang Undang Dasar Republik Indonesia.
Di saat masih tingginya jumlah pengangguran di Indonesia, sikap Menteri Ketenagakerjaan yang terkesan menggampangkan dan membiarkan membanjirnya pekerja asal Cina, justru melukai perasaan ratusan juta rakyat Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan seharusnya melakukan pengawasan dan penegakan aturan hukum terkait dengan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, khususnya terhadap 10 juta tenaga kerja Cina yang masuk ke Indonesia!
“Menaker jangan terkesan kalap dan terburu-buru membantah kabar banjirnya 10 juta tenaga kerja asal Cina, tapi yang harus dilakukan adalah segera membuat tim yang bertugas membendung eksodus jutaan tenaga kerja Cina tersebut,” sambung Mirah.
Mirah Sumirat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional menyarankan agar Menteri Ketenagakerjaan juga melibatkan serikat pekerja dalam menghadapi serbuan 10 juta tenaga kerja Cina tersebut. Mirah juga mengatakan tidak mungkin tokoh Nasional sekelas Yusril Ihza Mahendra dan Said Didu berani bicara angka 10 juta tenaga kerja Cina jika tidak kuat dasar informasinya.
Sebaiknya Menteri Hanif segera kembali fokus untuk turun ke bawah melakukan pengawasan dan menegakkan aturan!, tegas Mirah Sumirat.
Mirah Sumirat mengingatkan bahwa Pemerintah pernah terbukti kecolongan ketika pada April 2016, Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur menangkap 5 pekerja warga negara Tiongkok, yang melakukan pengeboran proyek tanpa izin di wilayah Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Pengendalian dan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kementerian Tenaga Kerja serta Direktorat Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga terbukti satu dari lima pekerja asing yang ditangkap tidak memiliki izin kerja atas nama perusahaan pengguna tenaga kerja asing (Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing/IMTA). Sementara empat pekerja Cina yang lain juga ternyata bermasalah yaitu mengantongi IMTA atas nama PT Teka Mining Resources (TMR). Namun, berdasarkan pemeriksaan Imigrasi, empat pekerja asing tersebut bekerja atas nama PT Geo Central Mining (GCM).
Dalam hal ini, ada pelanggaran dalam pelaksanaan IMTA terkait dengan perubahan perusahaan pengguna, termasuk penyalahgunaan jzin kerja, Hasil pemeriksaan menunjukkan pelanggaran lain. Keempat orang tidak menjalankan aktivitas pekerjaan yang sesuai dengan izin yang terdaftar. Menurut izin, 2 orang sebagai technical engineer, 1 orang sebagai finance manager, dan 1 lain sebagai research and development manager. Di lapangan, mereka melakukan aktivitas pekerjaan berbeda yaitu pengeboran proyek tanpa izin bahkan di wilayah obyek vital Negara.
Termasuk pada pertengahan tahun 2015, sebanyak 700 pekerja Cina dalam proyek pembangunan pabrik semen Merah Putih di Kecamatan Bayah, Lebak, Banten, yang dilakukan oleh PT Cemindo Gemilang. 700 pekerja ahli dari Tiongkok tersebut tercatat berada di level engineer,supervisor, manager, serta side manager. Namun ternyata melakukan pekerjaan yang berbeda, bahkan menjadi kuli bangunan di proyek tersebut. Sulawesi Tenggara juga telah kebanjiran pekerja asal Cina, yaitu di perusahaan pertambangan nikel di sejumlah kabupaten, di antaranya di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Konawe Utara.
“Menteri Ketenagakerjaan jangan hanya melakukan pembelaan diri dengan mendasarkan argumentasi semata pada data-data IMTA yang ada di Kementeriannya, karena faktanya banyak terjadi penyimpangan antara data IMTA dengan fakta yang sebenarnya,” demikian Mirah.