Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Foto : Ist

KETIKA JOKOWI MERASA TITAHNYA ADALAH HUKUM

Menyikapi Perintah Presiden Kepada Polisi dan Jaksa Tentang Diskresi

Oleh:  Ferdinand Hutahean

Selasa 19 Juli 2016, Presiden Jokowi mengumpulkan jajaran penegak hukum yaitu Polisi dan Jaksa. Dua institusi penegak hukum yang dari sejak lama dinilai lemah dalam penegakan hukum dan syarat intrvensi hingga reformasi membidani penegak hukum baru khusus korupsi, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korusi. KPK lahir bersifat sementara menunggu pembenahan POLRI dan KEJAKSAAN selesai dan diharapkan akan kembali menjadi pendekar hukum yang pedangnya tajam keatas maupun kebawah. Namun ironi terjadi, POLISI dan JAKSA tidak kunjung jadi pendekar hukum, bahkan elitnya berlomba-lomba masuk KPK yang lahir karena lemahnya dua institusi tersebut. Seolah elitnya bicara tanpa kata bahwa POLRI dan JAKSA masih belum berubah dan mari kita pindah ke KPK. Mungkin begitu mungkin juga tidak.

Yang mengagetkan dari pertemuan antara Presiden dengan Polisi dan Jaksa adalah adanya titah/perintah presiden kepada Polisi dan Jaksa untuk tidak mempidanakan kebijakan dan diskresi. Yang Mulia Presiden Joko Widodo sepertinya tidak memahami apa itu diskresi. Presiden dengan kekuasaannya menurut kami sedang memandulkan hukum positif. Presiden sedang merusak tatanan penegakan hukum. Presiden sedang berupaya menyelamatkan kekuasaannya dengan cara mengabaikan hukum, dan menjadikan titahnya sebagai hukum baru. Apakah Jokowi sekarang merasa jadi Raja atau seorang Prabu yang titahnya identik menjadi aturan dan hukum?

Presiden sepertinya tidak memahami apa itu Diskresi. Tapi mumgkin juga paham, tapi tetap tidak diperdulikan demi kelangsungan kekuasaannya.

Yang Mulia Presiden, Diskresi itu ada dalam tataran praktek, tataran pelaksanaaan dan pada tataran taktis serta teknis  eksekusi. Diskresi tidak berada pada tataran yang direncanakan. Diskresi hanya boleh terjadi karena adanya keadaan memaksa, keadaan overmacht atau force majeur yg menyebabkan kebijakan dan aturan yang prosedural tidak dapat diikuti dan dilaksanakan, maka dilakukanlah Diskresi terhadap hukum dan aturan. Itupun syaratnya harus ditambah untuk kepentingan umum dan terjadi kegentingan.

Diskresi itu situasional, dengan demikian apabila Diskresi sudah direncanakan dari awal dan tanpa alasan khusus yg terjadi yang dialami para penegak hukum tapi  sudah diperintahkan melakukan diskresi, maka itu adalah kategori intervensi hukum. Ini dapat dikategorikan secara syah dan meyakinkan Presiden memandulkan hukum positif dan titahnya atau perintahnya menjadi diatas hukum positif yang berlaku. Mungkin sebaiknya presidenembatalkan saja semua UU penegakan hukum jadi tidak perlu takut lagi melanggar hukum.

Dengan perintah presiden tersebut, kami meyakini sesungguhnya para penegak hukum menertawakan perintah ini meski tidak tertawa dihadapan presiden. Dan yang paling terbahak atas perintah ini adalah para kepala daerah berwatak koruptif yang akan berlindung dibalik kata kebijakan dan diskresi.

Mungkinkah titah ini dikeluarkan Yang Mulia Presiden untuk melindungi misalnya kasus Ahok dalam perkara RS Sumber Waras dan tanah Cengkareng? Atau mungkinkah Presiden sedang melindungi dirinya atas kebijakan semasih jadi Walikota dan Gubernur? Wuallahuallam…. hanya presiden dan Tuhan yang tau.

Jakarta, 20 Juli 2016