INILAH SURAT TERBUKA FORUM KAMPUNG KOTA KEPADA PRESIDEN JOKOWI DAN KETUA UMUM PDI PERJUANGAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

“TOLAK DUKUNG BASUKI TJAHAJA PURNAMA SEBAGAI CALON GUBERNUR DKI (2017-2022)”

“Marilah Saudara-saudara, hai saudara-saudara dari Djakarta, kita bangun kota Djakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil, megah bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit, megah bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya yang indah, megah bukan saja ia punya monumen-monumen indah, megah di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada Marhaen di kota Djakarta harus ada rasa kemegahan”
(Sukarno, pidato ulang tahun Jakarta ke-435 tahun 1962).

Salam sejahtera,

Kami adalah para akademisi dan praktisi dari berbagai bidang ilmu yang tergabung dalam “Forum Kampung Kota” — sebuah gerakan gotong royong lintas disiplin dan lintas generasi, dengan tujuan berkontribusi bagi pembangunan kampung dan kota di Indonesia sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan berkelanjutan.

Melalui surat ini kami bermaksud menyampaikan 3 (tiga) perkara kepada Presiden RI Joko Widodo dan Ibu Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan.

Perlu disampaikan terlebih dulu, bahwa yang menjadi fokus materi kami adalah pada produk kebijakan dan dampak yang dihasilkan, bukan pada individu atau perseorangan.

Pertama, kami sebagai bagian dari masyarakat sipil yang tak lepas dari kerja-kerja bersama warga penghuni kampung-kampung di Jakarta (dan di berbagai wilayah di Indonesia) mengingatkan bahwa Joko Widodo (Jokowi) adalah yang kami pilih dan yang dipilih oleh sebagian besar rakyat Jakarta sebagai Gubernur DKI dalam Pilkada 2012.

Saat Jokowi menjadi Presiden RI tahun 2014, Kami dan warga miskin di Jakarta rela, ikhlas, dan mendukung pergeseran posisi ini. Kami berharap gubernur pengganti akan meneruskan semangat pendahulunya selalu melibatkan warga dalam mengambil keputusan strategis.

Namun, harapan kami terus mengabur. Kebijakan-kebijakan Pemprov DKI terus menjauh dari nilai-nilai keadilan bagi warga miskin ibukota.

Kedua, terkait dengan yang pertama, kami menyampaikan keprihatinan, kekecewaan atas orientasi dan kinerja kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam mengelola Jakarta. Lima kelompok data berikut sekadar beberapa contoh:

(1) Tentang peningkatan angka kemiskinan di ibukota. Data BPS menyebutkan Indeks Gini di Jakarta (indeks berisi ketimpangan distribusi hasil pembangunan) melompat dari 0,43 pada 2014 menjadi 0,46 pada 2015. Ini menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi di Jakarta semakin serius. Data BPS juga menunjukkan bahwa dari September 2015 ke Maret 2016 jumlah orang miskin bertambah sebesar 5.630 orang.

Data ini menunjukkan rendahnya kinerja Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam meningkatkan kesejahteraan warga miskin.

(2) Tentang peningkatan penggusuran warga miskin. Kemiskinan yang terus bertambah berbanding lurus dengan frekuensi penggusuran terhadap warga miskin. Data LBH Jakarta menunjukkan bahwa selama tahun 2015 terjadi 113 kasus penggusuran paksa oleh Pemprov DKI. Total jumlah korban sebanyak 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Sebanyak 67% di antaranya dibiarkan tanpa solusi.

Penggusuran membuat kualitas hidup rakyat memburuk. Mereka tak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehidupan secara keseluruhan. Pemprov DKI melalui Gubernur Basuki Tjahaha Purnama menyatakan bahwa di tahun 2016 penggusuran warga di 325 kampung dan jelang Pilkada akan terus dilakukan.

(3) Tentang penggunaan instrumen kekerasan terhadap penggusuran. Penggusuran paksa terhadap warga miskin dilakukan menggunakan instrumen kekerasan dan melibatkan tentara. Dari 113 kasus penggusuran, 65 kali TNI terlibat dalam penggusuran tersebut. Ini bertentangan dengan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

UU tersebut menyebutkan bahwa TNI hanya memiliki kewenangan dalam isu pertahanan, bukan keamanan (yang menjadi tugas kepolisian) dan ketertiban umum (yang menjadi tugas Satuan Polisi Pamong Praja).

(4) Tentang menguatnya keberpihakan pada korporasi dalam orientasi kebijakan Pemprov DKI. Hasil kajian yg dilakukan Mahmud Syaltout (Doktor Hukum lulusan Universitas Sorbonne, Perancis) terhadap dokumen hukum yang ada dalam website Pemprov DKI, dengan materi 10 produk peraturan terkait reklamasi di Teluk Jakarta, menggunakan instrumen CAQDAS (Computer Assisted Qualitative Data Analysis) dan perangkat halus MAXQDA 12, ditemukan kuatnya orientasi kebijakan

Pemprov DKI terhadap korporasi, ketimbang terhadap warga. Dari dokumen regulasi tsb ditemukan kata “reklamasi” disebut sebanyak 632 kali, kata “korporasi” sebanyak 123 kali, dan kata “rakyat” atau “masyarakat” sebanyak 31 kali. Artinya, orientasi kebijakan Pemprov DKI lebih berorientasi pada korporasi besar, daripada terhadap warga miskin di ibukota.

Keberpihakan pada korporasi dapat dilihat dari Peraturan Gubernur Nomor 175 Tahun 2015 tentang “Pengenaan Kompensasi terhadap Pelampauan Nilai Koefisien Lantai Bangunan”. Kebijakan ini memberikan kuasa absolut pada gubernur untuk memberikan izin meninggikan bangunan berdasarkan “rumus kompensasi peninggian bangunan”, tanpa batas. Peraturan ini melecehkan produk regulasi terkait seperti UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, Perda No 1/2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Perda No 1/2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Bukan hanya itu, peraturan ini mengganggu dua hal lain: (a) aspek Keselamatan dan Keamanan yang tercantum dalam UU No 1/2009 tentang Penerbangan dan UU No 34/2004 tentang TNI, khususnya di bidang Operasi Pertahanan Udara; (b) Hancurnya simbol arsitektur transportasi di Jakarta seperti Jembatan Simpang Semanggi

(5) Tentang melemahnya kegiatan kebebasan berpendapat di ibukota. Dalam beberapa bulan terakhir, ada 6 pemaksaan pembatalan acara di Jakarta. Selain itu, Pemprov DKI membatasi lokasi kegiatan demonstrasi di Jakarta, sesuai dengan Pergub No 288 tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Pemprov melalui gubernur juga mengusulkan mengisi water canon dengan bensin untuk mengatasi pengunjuk rasa. Kebijakan ini sebuah langkah mundur bagi demokrasi di Indonesia.

Perlu disampaikan, uraian kelima poin di atas, tidak mengabaikan upaya yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI, khususnya pemimpinnya. Gubernur DKI ini adalah pemimpin tegas dan bisa diharapkan membenahi beragam kebuntuan dalam tubuh birokrasi Pemprov DKI. Dia telah mencurahkan energi melakukan penataan good governance dan mendorong praktek transparansi dan akuntabilitas di internal birokrasi. Apresiasi yang tinggi untuk segala upaya ini.

Namun di tengah kekuatan gubernur ini, kami perlahan menyadari kekurangannya sebagai pemimpin: ketakmauan nya mendengar dan berempati pada warga miskin. Gubernur sering memberikan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan warga miskin dan para pendampingnya. Pernyataan ini bukan berbasis fakta lapangan dan seringkali menyesatkan publik.

Tindakan Gubernur Basuki Tjahaha Purnama ini menciptakan polarisasi warga ibukota dan memecah belah sesama warga. Energi kolektif yang sesungguhnya dapat digunakan untuk bekerjasama membangun Jakarta, justru terbuang sia-sia.

Ketiga, dengan mempertimbangkan data dan fakta terkait kinerja dan arah kebijakan Pemprov DKI yang dipimpin oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam mengurus Jakarta, kami mendesak PDI Perjuangan, sebagai partai wong cilik, sekaligus partai politik terbesar di Indonesia, untuk menolak mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI (2017-2022). Kami meyakini tak ada basis moral dan ideologi yang bisa dijadikan sebagai dasar bagi PDI Perjuangan untuk mendukung pencalonannya.

Demokrasi, keadilan dan keberpihakan pada kaum marhaen adalah ideologi PDI Perjuangan yang tidak dapat ditemui oleh kandidat ini.

Akhir kata, seorang gubernur adalah pemimpin kota, pemimpin warga. Melalui kebijakan yang dihasilkan, nasib ibukota, dan nasib jutaan warga miskin bergantung. Kami percaya, Ibu Megawati memiliki hati nurani yang berpihak pada kedaulatan warga negara yang paling tersisih secara ekonomi, dan sosial. Seperti kami juga yang percaya bahwa “Suara rakyat adalah suara Tuhan”

Jakarta, 19 Agustus 2016
Forum Kampung Kota

Tertanda

1. Deny Tjakra (Pekerja Kemanusiaan) [email protected].
2. Iwan Febriyanto (Konsultan Penelitian Social Protection) Tinggal di Bogor. [email protected]

3. Ariko Andikabina (Arsitek) [email protected]
4. Rita Padawangi (Peneliti Tinggal di Singapura) [email protected].
5. Amalinda Savirani (Dosen Fisipol UGM) [email protected]
6. Bosman Batubara (Mahasiswa doktoral di UNESCO-IHE dan UvA)
[email protected]
7. Ramdan Malik (Jurnalis) [email protected]
8. Firdaus Cahyadi (Pekerja Sosial) [email protected]
9. Iwan Nurdin Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria [email protected]
10. Teddy Lesmana, Peneliti Ekonomi LIPI, [email protected]
11. Rusdi Marpaung (advokat/warga Jakarta) [email protected]
12. Iwan Setiawan, dokumentarian/jurnalis, [email protected]
13. Yuli Kusworo (arsitek komunitas) [email protected]
14. Yu Sing (arsitek), [email protected]
15. JJ Rizal (Sejarawan), [email protected]
16. Sukma Widyanti (aktivis pendidikan), [email protected]
17. Astriyani (Peneliti Hukum dan Peradilan), [email protected]
18. Ipoel Somaka (Pekerja Sosial) [email protected]
19. Sofia (Pekerja Sosial) [email protected].
20. Anwar sastro Maruf (pekerja sosial, [email protected])
21. Marthin Hadiwinata, (Advokat dan Ketua KNTI, [email protected])
22. Maulana P.Sagala (praktisi iklan) [email protected]
23. Isnu Handono (Human Rights Defender; [email protected])
24. I. Sandyawan Sumardi (Pekerja Kemanusiaan) [email protected]
25. Sri Palupi ( peneliti Institute for Ecosoc Rights) [email protected]
26. Uni Hanik (Praktisi monitoring dan evaluasi pembangunan) [email protected]
27. Abdurrahman Syebubakar (Pembelajar Demokrasi dan Pembangunan Manusia)
28. Abdurrahman Asad AlHabsy (Pembina 50 Majelis Ta’lim dalam dan luar negeri) [email protected]
29. Puji Dwi Antono (Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi) [email protected]
30. Tamrin Amal Tamogola (Pensiunan Dosen Fisip UI)
31. Siane Indriani (Komnas HAM)
32. Gentry Amalo (Pekerja sosial)
33. D. Prihamangku S. (Pekerja sosial) [email protected]
34. Dargo Tamtomo (Spatial Analyst. National Air Power Center Indonesia)
[email protected]
35. Vera W. S. Soemarwi (Dosen dan Pengacara) [email protected]
36. wardah hafidz, urban poor consortium (upc), [email protected]
37. Inne Rifayantina (Arsitek Praktisi, [email protected])
38. Nursyahbani Katjasungkana (Advokat)