Pilkada Jakarta akan dihelat pada 15 Februari 2017 (Foto/Kpujakarta.go.id)

Dalam kondisi Pilkada maupun Pilpres acapkali ditemukan bermunculan lembaga survei opini publik. Ada lembaga yang mempublish hasil survei, dan ada yang tidak.

“Ada juga yang sudah punya sponsor, ada sedang memasarkan diri belum punya sponsor,” kata Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap di Jakarta, Minggu (21/08/2016).

Modus lembaga survei yang tak bersponsor untuk mendapatkan keuntungan dalam Pilkada atau Pilpres, yakni, meninggikan angka elektabilitas calon tertentu yang dinilai memiliki dana cukup besar.

Namun, kata dia, untuk lawannya diberi harapan dan peluang mengalahkan yang angkanya dibesarkan. Adalah sukar ditemukan lembaga survei sungguh-sungguh tanpa sponsor di Indonesia karena biaya total survei yang benar tatap muka di atas Rp 100 juta, kecuali metode via telepon.

Dijelaskannya, publikasi hasil survei acapkali berfungsi sebagai iklan atau promosi calon yang membiayai lembaga tersebut. Untuk politik uang, lanjut dia, lembaga-lembaga survei dibayar membangun persepsi dan pandangan bahwa calon tertentu sangat kuat dan tak terkalahkan dengan angka elektabilitas misalnya 57 persen. Sementara peran lembaga-lembaga itu menjustifikasi angka perolehan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dengan curang memenangkan calon dimaksud.

“Namun, angka itu hasil kecurangan kerjasama dengan oknum-oknum KPUD dan PPK,” ujarnya.

Disamping itu, tambah dia, pemilih terima duit untuk memberikan suara ke calon pihak pembayar. Cara memberi duit ke pemilih bisa melalui relawan, bisa kader parpol pengusung dan pendukung. Dirinya mencoba mencermati kini dinamika lembaga survei yang semua mengklaim terbuka, elektabilitas Ahok paling tinggi sejak Januari hingga Agustus 2016. Tetapi, ternyata angka-angka disajikan menunjukkan Ahok sangat mungkin kalah dalam pendekatan sosiologis.

“Kita lupakan dulu lembaga survei ini sudah punya sponsor atau masih memasarkan  diri,” bebernya.

Masih kata Muchtar Effendi, lembaga sudah mempubilisir hasil survei, lepas jujur atau bohong, yakni 1. Kedai Kopi, 2. Sinerji Data Indonesia, 3. Charta Politika, 4. Populi Center, 5. Cyrus Networks, 6. LSPI, 7. Lingkaran Survei Ibdonesia, SMRC, 8. Manilka Consulting, dan 9. Lembaga Psikologi Politik UI. Rata-rata elektabilitas Ahok 43,25 persen (Januari), 43,50 (Februari), 45,15 (Maret), 48,15 (April), 57 (Mei), 42,16 (Juni), 37,40 (Agustus). Dan untuk Juli, tak ada kegiatan survei.

“Data per bulan di atas menunjukkan, Februari naik 0,25 persen, Maret naik 1,62, April naik 3, 00, Mei naik 9,15, Juni turun 5,16, Agustus turun 5,24 persen,’ ujarnya.

Dikatakannya, gelombang dahsyat anti Ahok dan Abah (asal bukan Ahok) dari beragam aliran politik dan strata sosial, menyebabkan lembaga survei tak bisa mempertahankan angka di atas 50 persen. Bagaimanapun, gelombang anti Ahok akan kian membesar dan meluas menyentuh hingga ke strata MBR dan grassroats. Elektabilitas juga akan terus nenurun, rata-rata minimal 5 persen. Diperkirakan, September elektabilitas Ahok turun menjadi 32 persen, Oktober 27 persen, November 22 persen, dan  Desember di bawah 20 persen. Secara sosiologis perilaku pemilih atas dasar ikatan primordialisme kepada Ahok dari gabungan ras dan agama.

“Ya, jumlah pemilih Ahok ada pada angka di bawah 20 persen,” terangnya.

Karena itu, sambung Effendi, kalau ada hanya dua pasang Cagub, Ahok dinilai sangat mungkin kalah lawan Abah. Sekalipun terdapat lima pasang, akan ada putaran kedua yang juga Ahok akan kalah lawan gabungan rakyat Abah.

“Dengan menggunakan hasil survei bayaran maupun tidak yang dipublikasi sejak Januari hingga Agustus 2016 ini, dapat diperkirakan, Ahok kalah,” tegas dia.

Lebih lanjut, Effendi menambahkan kekalahan Ahok ini dianggap rasional sesuai hasil survei yang dipublisir selama ini membuat pendukung buta Ahok gembira ria dan riak. Masalah demi masalah akan muncul, jika KPUD  Jakarta nantinya memutuskan, Ahok menang dalam Pilkada 2017.

“Sebab itu jelas tak rasional. Rakyat Abah pasti mengklaim, tim sukses dan relawan Ahok gunakan politik uang dan tindak kecurangan. Hal ini bisa timbulkan “goro-goro” atau kerusuhan sosial (social unrest) anti Cina. Sebagaimana terjadi pada jelang keruntuhan kekuasaan rezim Suharto (1998). Jika terjadi goro-goro, bisa buat kekuasaan rezim Jokowi-JK juga runtuh,” pungkasnya. -RMN