GADUH TAK BERKESUDAHAN ESDM, BANGSA BUTUH KETEGASAN PRESIDEN
Oleh Ferdinand Hutahaean
Sepertinya sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan terus memproduksi kegaduhan semata tanpa bisa menjadi sektor andalan penopang masa depan bangsa. ESDM adalah hadiah, anugerah besar dan bentuk subsidi langsung dari Tuhan kepada bangsa ini. Tapi aneh, ketika berkah anugerah itu seperti menjadi kutuk bagi bangsa ini dan justru menjerumuskan negara kedalam kubangan lumpur hutang tak terbayar lagi. Bangsa ini berubah dari bangsa pemilik menjadi bangsa pengemis. Sungguh tragis dan memalukan bagi sejarah yang kemudian akan dibaca oleh anak cucu bangsa kedepan. Sejarah akan mencatat bahwa Indonesia sebuah bangsa yang kaya raya menjadi bangsa pengemis.
Harus kah kita mencari siapa yang salah..? Sangat tidak perlu..!! Sekarang saatnya memperbaiki kerusakan ini menjadi kebaikan bagi bangsa. Sekarang waktunya membayar lunas derita hutang bangsa dengan cara yang tepat dengan cara menegakkan jati diri bangsa, menjadi tuan dan pemilik bangsa ini. Tanpa itu, kita akan menjadi bangsa kuli dan menjadi bangsa pengemis yang hina.
Kegaduhan tak henti sektor ESDM ini sudah terjadi sejak lama dari Orde Lama ke Orde Baru hingga Orde Reformasi dan terakhir ke era Rejim Jokowi. Soekarno bersikeras tidak akan menyerahkan Sumber Daya Alam ini kepada asing dan membuat gaduh penjatuhan Soekarno dari kursi presiden. Era Soeharto kemudian gaduh menyerahkan SDA kita kepada bangsa asing. Era Habibie tidak terlalu gaduh karena situasi politik lebih dominan. Era Gusdur tidak terdengar karena hanya sesaat, zaman Mega gaduh penjualan gas murah ke Cina, masa SBY gaduh dengan mafia migas dan sekarang kegaduhan luar biasa di era Jokowi karena gaduhnya bersumber dari jantung pemerintah sendiri.
Sudirman Said menjadi menteri ESDM pertama kabinet Jokowi yang kemudian gaduh tak henti dengan Rizal Ramli sang Menko Maritim. Semua ribut entah berebut apa dan untuk siapa. Freeport, Masela, Listrik dan Subsidi BBM menjadi topik utama kegaduhan masa Sudirman Said.
Archandra Tahar sang menteri ESDM kedua Jokowi kemudian memunculkan gaduh republik atas statusnya yang telah menjadi Warga Negara Amerika sejak 2012. Bahkan beberapa menteri dan elit bangsa rela berbohong demi menutupi sebuah kesalahan yang mestinya tidak boleh terjadi pada sebuah bangsa. Tragis..!!
Sekarang Menteri ESDM dijabat PLT atau Ad Interim oleh Luhut Binsar Panjaitan yang juga menjabat Menko Maritim setelah sebelumnya reposisi dari Menkopolhukam sebelum digeser dari kursi Kepala Kantor Staff Presiden. Kegaduhanpun terus terjadi dengan pernyataan-pernyataan kontroversial seperti keinginan mendudukkan Archandra Tahar kembali menjadi menteri ESDM dan kegaduhan tentang izin rekomendasi ekspor konsentrat Freeport yang dikeluarkan tanggal 9 Agustus 2016 tapi disebut dikeluarkan era Sudirman Said.
Sampai kapan kegaduhan ini akan terjadi? Apakah rebutan rampasan disektor ini akan terus menjadikan bangsa ini bangsa yang tertinggal jauh dari penyediaan energi masa depan? Sepertinya rejim ini begitu terlena dengan kekuasaan sesaat ditangannya.Presiden terus berbulan madu dengan hak prerogratifnya hingga sibuk gonta ganti kabinet yang sejujurnya itu menandaskan sebuah kegagalan memilih orang yang tepat. Berapa kali lagi presiden akan terus mengulang resufle tak produktifnya? Resufle yang terjadi hanya karena faktor suka tidak suka dan sedikit sekali pertimbangan kinerjanya. Karena presiden justru mempertahankan menteri yang gagal dikabinetnya.
Mengapa presiden butuh waktu yang terlalu lama untuk menetapkan Menteri ESDM yang baru? Apakah bangsa ini tidak lagi memiliki putra putri yang mampu hingga terus berpikir mendatangkan menteri impor?Bangsa ini masih punya banyak sekali sosok yang mampu memimpin kementerian ESDM tanpa harus mencari-carinya dari tumpukan para kaum murtad nasionalisme atau murtad kebangsaan hanya dengan klaim pintar semata.
Apakah rejim ini ingin menyatakan bahwa tidak ada lagi orang pintar dinegara ini? Jika benar demikian, sungguh rejim telah menghina putra putri bangsanya sendiri dengan menganggab hanya lulusan luar yang pintar dan mampu. Ironi yang dibangun oleh pemerintah dan akan berkembang menjadi kebencian dan satu saat akan berubah jadi amuk. Tidak seharusnya pemerintah merendahkan dan melecehkan putra putri bangsanya.
Cukupkah pintar menjadi alasan untuk menabraki Undang-undang? Cukupkah gelar PhD untuk menafikan nasionalisme dan mengabaikan nasib masa depan bangsa? Sunggu naif rasanya jika standar pintar hanya dimonopoli oleh rejim ini dan kemudian digunakan sebagai pembenaran melanggar aturan bahkan melecehkan kemampuan putera puteri bangsa ini.
Presiden semestinya menyadari bahwa tantangan kedepan sangatlah berat. Tantangan kedepan bukan lagi sekedar tantangan mencari sumber minyak atau gas yang baru, karena tentu jumlahnya terbatas dan akan segera habis. Indonesia diprediksi akan menghabiskan cadangan minyaknya tidak lebih dari 12 tahun kedepan. Gas masih berkisar 70 tahun dan Batubara sekitar 30 tahun lagi. Apakah angka-angka ini tidak membawa kekuatiran bagi rejim ini ketika cadangan kita habis? Indonesia memang diperkirakan punya cadangan tak tereksplorasi sekitar 23 M barel minyak. Namun cadangan tersebut menyebar dibanyak tempat hingga tidak ekonomis untuk di eksplorasi dan akan menjadi harta tak termamfaatkan. Sementara eksplorasi semakin menurun dan tidak menemukan pertumbuhan cadangan minyak.
Apa yang terjadi selepas itu? 10 tahun kedepan kita akan memasuki sebuah era sangat darurat energi. Inilah mestinya titik pangkal bagi presiden untuk memilih Menteri ESDM baru. Artinya bangsa ini butuh Menteri yang punya visi dan misi menyediakan energi ke masa depan bukan menteri yang hanya bisa bagi-bagi ijin disektor ESDM. Menteri baru harus punya visi kuat bagaimana memamfaatkan cadangan yang ada untuk membangun dan menyediakan energi ke masa depan.
Semoga presiden segera menetapkan menteri ESDM baru tanpa harus berpikir menteri esdm harus ahli minyak atau ahli gas. Tetapi menteri yang visioner, futuristik, berkarakter kuat dan memiliki nasionalisme tinggi serta keberpihakan kepada Indonesia.
Jakarta, 22 Agustus 2016