JAKARTASATU – Masyarakat Betawi itu sangat toleran terhadap perbedaan, banyak mengalah dan tidak usil terhadap hal apapun. Namun jika sudah ditantang, maka peribahasa Betawi yang terkenal “Ente Jual, Ane Beli” pasti akan terealisasi. Apalagi dalam memperjuangankan nilai-nilai prinsip yang berbasis kebudayaan.

Ancaman Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terhadap Bamus Betawi untuk tidak lagi memberikan dana hibah ke wadah berhimpun ormas-ormas Betawi ini menuai banyak reaksi keras di publik ibukota, terlebih dari ormas berbasis kesukuan betawi.

Pernyataan ini disampaikan Ahok mengingat bahwa dalam perspektifnya Bamus Betawi dianggap bermain politik praktis, terutama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Tak hanya itu, Ahok pun melarang Orang Betawi menjadi Gubernur Jakarta, terutama kepada dua putra Betawi yang potensial seperti Saefullah dan Hj. Sylviana Murni, dua birokrat Betawi di Pemprov DKI. Pernyataan Ahok jelas menimbulkan gejolak dan menambah daftar panjang “musuh-musuh” calon petahana dalam Pilgub DKI Jakarta ini.

Mencermati hal ini, Majelis Kajian Jakarta (MKJ) sebuah lembaga swadaya masyarakat yang intens mengkaji persoalan sosial ibukota dan kebangsaan menilai bahwa secara politik orang Betawi wajar jika menentang sikap Ahok.

“Bamus Betawi adalah repsentasi nyata dari eksistensi indegenious people atau warga asli kota Jakarta yang mewadahi banyak ormas kebetawian, jadi hal yang lumrah jika diberi bantuan hibah dari Pemprov DKI berdasarkan APBD yang notabene adalah uang rakyat,” kata Erwin H. Al Jakartaty, Kordinator MKJ dilaman SWARA SENAYAN saat ditemui di Kantor sekretariat lembaganya tersebut (7/9/2016).

Erwin menilai bahwa hibah Pemprov DKI Jakarta kepada Bamus Betawi adalah amanat konstitusi dan secara spesifik merupakan implementasi dari Perda No. 4/tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.

“Secara politik, adalah hal yang wajar pula jika mayoritas dari 5 juta orang Betawi di ibukota ini menolak Ahok, mengingat bahwa sejak Indonesia merdeka Orang Betawi berharap memiliki kesempatan untuk memimpin dikampungnya sendiri, bukan karena sebab SARA sebagaimana yang dituduhkan oleh Ahok,” demikian lanjut Erwin.

Perkara tudingan Ahok bahwa Bamus Betawi berpolitik untuk menggoalkan cagub Betawi, menurut tokoh muda Betawi ini seharusnya disikapi dengan bijak, bukan reaksioner dengan mengancam untuk menghentikan hibah kepada Bamus Betawi.

“Ahok itu sebenarnya ketakutan dan reaksioner, hingga bersikap seperti kekanak-kanakan dengan mengancam organisasi sekelas Bamus Betawi. Itu sama aja niup terompet perang, dan jangan sekali-kali menantang orang Betawi, bisa fatal akibatnya,” tukas Erwin H. Al Jakartaty.

Dimata Erwin, masyarakat Betawi itu sangat toleran terhadap perbedaan, banyak mengalah dan tidak usil terhadap hal apapun. Namun jika sudah ditantang, maka peribahasa Betawi yang terkenal “Ente Jual, Ane Beli” pasti akan terealisasi. Apalagi dalam memperjuangankan nilai-nilai prinsip yang berbasis kebudayaan.

“Sikap Ahok itu inskonstitusional, karena dengan menarik hibah kepada Bamus Betawi dan melarang orang Betawi menjadi gubernur dikampungnya sendiri, berarti dia telah melanggar Perda dan UUD 1945, yang tak sepantasnya dilakukan seorang pemimpin”, demikian Erwin menutup pembicaraan. |SS