ANAK KAMI TIDAK BOLEH SEPERTI AHOK, ANAK KAMI INGIN SEPERTI AGUS HY

Oleh Anoman Obong

Siapa yang tidak mengenal Ahok di Jakarta? Hampir semua kalangan mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dan orang yang sepuh usia pasti kenal dengan Ahok. Dialah Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sejak November 2014 setelah mendapat durian runtuh hibah jabatan dari Jokowi yang memenangkan Pilpres 2014 dan kemudian menjabat sebagai Presiden RI ke 7. Sementara pilkada DKI 2012 yang memenangkan Jokowi Ahok adalah diyakini karena rakyat memilih Jokowi bukan karena Ahok, karena saat itu Ahok belum dikenal publik secara baik. Jadi Ahok sejatinya sekarang jadi Gubernur bukan karena pilihan rakyat tapi karena hibah dari Jokowi.

Sehingga kemudian menjadi sangat wajar saat ini, ketika rakyat Jakarta justru banyak memusuhi Ahok hingga Ahok tidak berani menemui warga Jakarta tanpa pengawalan aparat yang besar.

Bukan 10 atau 20 orang pengawalan tapi ratusan pengawalan bahkan mungkin jumlahnya setingkat batalyon. Betapa takutnya Ahok kepada rakyat yang katanya dipimpinnya. Dan betapa besarnya anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengamankan seorang Ahok. Sungguh tidak etis jika kemudian anggaran lebih besar untuk pengamanan Ahok dibanding anggaran kesejahteraan rakyat.

2012 lalu Ahok belum jadi sirotan publik sebelum menjadi wakil gubernur DKI Jakarta. Ahok dengan karakter kutu loncat politiknya, kemudian memamfaatkan jabatannya untuk mengejar mimpi kekuasaan lebih tinggi. Ahok patut diduga kemudian menggunakan cara-cara yang tidak beradab dan tidak santun serta kontroversial untuk meningkatkan popularitasnya.

Ahok menggunakan bahasa yang kasar dan kotor, marah-marah kepada rakyat, membuat permusuhan dengan partai hanya supaya seolah-olah Ahok bersih dan menuding partai seperti sebuah gerombolan koruptor. Tapi ujungnya, kini Ahok berkolaborasi juga dengan partai yang pernah dihantamnya. Kerjasama hanya untuk meraih kekuasaan bukan untuk pengabdian.

Ahok juga didepan Teman Ahok pernah berkata lebih baik tidak jadi Gubernur kalau meninggalkan teman Ahok yang dulu hendak maju lewat jalur independen.

Sungguh semua sikap itu menunjukkan karakter yang tidak baik, sebagai ayah, sebagai suami, sebagai pejabat, Ahok jelas memberikan contoh yang tidak benar. Ini menunjukkan kelas integritas rendah dan tidak punya prinsip. Kasar, berucap kotor dan tidak konsisten bersikap dengan ucapan tapi konsisten untuk tidak konsisten. Kepada kata-katanya saja, Ahok tidak setia, bagaimana kemudian Ahok akan setia kepada rakyat? Setia kepada bangsa? Sepertinya tidak mungkin.

Kemudian merebaknya kasus-kasus kebijakan Ahok yang bermuara kepada masalah hukum juga menambah popularitasnya. Popularitas negatif. Kasus RS Sumber Waras, kasus Reklamasi, kasus pembelian lahan sendiri di cengkareng, kadus taman BMW dan lain lain semakin membuktikan bahwa Ahok bukan pemimpin yang baik dan tidak layak dipilih sebagai pemimpin.

Terlalu banyak kisah negatif dan problema yang menempel pada Ahok. Kinerja negatif APBD DKI juga sebagai bukti kegagalan Ahok. Kesimpulan, Ahok tidak jujur, tidak bersih, tidak cerdas, tidak beradab. Kami jelas tidak ingin anak kami seperti Ahok. Kami tidak ingin putra putri kami meniru Ahok dengan segala perilaku negatifnya dan kata kata kotornya.

Kami ingin putra putri kami seperti Agus Harimurti Yudhoyono. AHY adalah calon gubernur DKI Jakarta saat ini. AHY adalah putera pertama Presiden RI ke 6 Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono atau yang akrab denfan sebutan SBY. AHY adalah sosok penuh prestasi akademik gemilang, prestasi karir militer gemilang, dan AHY adalah sosok yang santun, beradab, hormat pada orang tua, cerdas dan tegas serta Pancasilais.

AHY adalah kontrasting dari Ahok. Ahok kasar dan AHY santun. Itulah kemudian mengapa banyak ibu dan bapak tidak mau anaknya seperti Ahok tapi menginginkan anaknya seperti Agus Harimurti Yudhoyono. Santun, lembut, beradab dan akan mampu membangun Jakarta dengan cara yang santun dan beradab pula. Tidak seperti Ahok yang ingin menyingkirkan rakyat miskin demi ambisinya dan pengabdiannya kepada para pengembang.

Jakarta, 06 Oktober 2016