Zeng Wei Jian

by Zeng Wei Jian

Kemarin 14/10, ada demonstrasi besar di Bareskrim dan Balai Kota.

Sebuah portal di TURKI mengabarkan demonstrasi “tangkap ahok” itu. Diberitakan jumlah massa aksi lebih dari “sejuta orang”.

Masalah blasphemy ini telah diketahui dunia internasional. Nusron Wahid dan Basuker boleh jadi ngga merasa Ahok menista Alquran dan ulama. Namun sebelum Turki, Imam Besar Masjid New York (Imam Shamsi Ali) sudah ikut menulis komentar mengenai sikap agresif “melotot & ngotot” Nusron di ILC.

Saya kira isue ini akan menjadi polemik internasional. Indonesia bisa jadi bakal dinilai sebagai pelindung penista Alquran dan ulama bila kepolisian tidak menangkap Ahok.

Aksi serupa pecah di berbagai daerah. Aceh, Medan, Bandung, Palembang, Muntilan, Tegal. Bahkan kota asal Presiden Jokowi, Solo juga menggelar aksi tangkap ahok.

***

Sejak jam 7 pagi saya mulai on my way to Istiqlal. Muter-muter liat situasi. Sepanjang Jl. Gajah Mada banyak toko tutup. Layaknya hari Minggu. Jl. Roxy lebi sepi. Hanya 1-2 toko mebel saja yang buka.

Ahok & Basuker memicu mass psychological tension and social unrest.

Sesaat sebelum aksi, saya, bersama Lieus Sungkharisma, sempat berputar-putar Jalan Hayam Wuruk, Juanda, Harmoni, Monas. Situasi jalan raya terasa lain. Lebih lancar. Tenang. Sepi. Seakan ada sesuatu yang dinanti masyarakat.

islamDi taman Monas, tepat di depan Istana Merdeka, tentara duduk-duduk. Jumlahnya banyak sekali. Saya sempat berteriak, “HIDUP TNI. TNI HARUS PRO RAKYAT. TUMBANGKAN AHOK”.

Lieus tertawa. Tentara-tentara itu nyengir. Ada yang mengusung kepalan tangan ke atas.

Di depan Masjid Istiqlal, ada sejumlah Satpol PP membantu mengatur arus lalu-lintas. Hari ini mereka simpatik. Ramah. Penuh senyum. Rombongan utama demonstran dipimpin Habieb Rizieq telah berangkat ke Bareskrim.

Kepada empat orang SatPol PP, saya nyatakan “bravo Satpol PP”. Mereka senang, tersenyum. Beberapa pemuda Laskar FPI memperhatikan. Mereka tau Lieus Sungkharisma memegang setir mobil di samping saya.

Karena Satpol PP itu tampak senang, saya bilang, “Pol PP mesti pro rakyat. Jangan jadi antek-antek Ahok. Tumbangkan Ahok. Segera”.

Sontak air muka mereka berubah. Kecut. Grogi. Seorang dari mereka langsung menundukan kepala. Beberapa Laskar FPI tertawa.

Tiga ratus meter dari Masjid Istiqlal ada serpihan kecil demonstran. Mereka bawa spanduk bertulis: SOBEK MULUT & MATA NUSRON WAHID, SI ANAK DURHAKA.

***

Ini aksi besar. Entah berapa puluh (mungkin seratus) aksi demonstrasi pernah saya ikuti sejak tahun 1997. Tidak sering ada banjir massa sebanyak ini. Detik.com bilang ada 50 ribu massa-aksi. Dua ruas jalan Merdeka Selatan dipadati demonstran. Aksi ini sedikit lebih besar dari aksi buruh Mayday.

Ada Habiburokhman, Ratna Sarumpaet, ACTA, Indonesia Bergerak, PETA, Silat Cingkrik Rawa Belong, FBR, Laskar Luar Batang, AKBAR, Warga Aquarium di sela-sela massa FPI dan ormas Islam lain.

Saya sempat bincang-bincang dengan Gofur dari BARET. Ada rombongan ibu-ibu dari Jakarta Timur. Satu dari ibu itu bilang, di kelurahan mereka tidak ada prohok. Anies dan Agus berbagi suara. Anies-Sandiaga sedikit lebih unggul.

Ada Amien Rais orasi di Bareskrim. Dia bilang segera tangkap Ahok. Dia berharap Presiden Jokowi jangan coba-coba melindungi Ahok.

Kedatangan Lieus Sungkharisma disambut meriah. Habib Rizieq memanggil dan memintanya naik ke podium. Barisan demonstrans membuka jalan. Seorang laskar memayungi Lieus. Di atas podium, Lieus bilang Ahok telah menista agama. Tidak boleh dibiarkan. Mesti ditangkap. Orasi Lieus disambut teriakan takbir.

Sejumlah ibu beretnik Tionghoa keluar dari Gereja Katedral. Mereka membagikan konsumsi kepada peserta aksi. Saya kira, ini simbol aksi simpatik mereka. Semoga mereka mulai sadar bahwa Ahok memicu ketegangan sosial. Ahok tidak pantas didukung.

***

Sesaat setelah turun dari mobil, saya mencoba mencari lokasi strategis para sniper. Saat penggusuran Bukit Duri, aparat menurunkan seorang sniper, seseorang tanpa seragam, memaki helm dan membawa senapan sniper. Dari silang Monas, polisi, intel dan tentara berserakan. Saya takut ada skema bentrok. Tapi saya kira aksi ini aman. Saya tidak melihat ada anomali mencurigakan.

Mobil komando ACTA, kerap didatangi umat. Mereka ingin menyalami Habiburokhman dan para lawyer. Tak lupa selfie dengan latar Bendera ACTA.

Ada seorang pria setengah baya bilang, “sebaiknya Ahok ngga usa ditangkap. Jadi saya punya kesempatan berjihad. Kapan lagi?”

Seorang lagi bilang, “itu teman kita. Alumni Afganistan. Kita siyap mati syahid.”

Massa di Balai Kota tertib selagi Habib Rizieq berorasi di Bareskrim. Wartawan berserakan. Polwan muda dikerahkan bagi-bagi minuman. Cantik-cantik.

Ada satu unit mobil water canon di balik gerbang Balai Kota. Moncongnya menghadap ke arah kumpulan demonstran.

Tiba-tiba, polisi membunyikan musik. Iramanya seperti dangdut. Massa langsung marah. Merapat. Teriakan kecaman bergemuruh. Ada botol dilempar ke arah polisi di balik pintu gerbang. Demonstran menuntut musik dimatikan.

Habiburokhman Asli meminta sopir bergerak. “Wah clash nih,” katanya.

Seorang lain berkata sambil tersungut, “udah gila ya mereka. Masa stel lagu begituan.”

Maksud hati polisi meredakan ketegangan, namun musik pilihannya keliru. Ini aksi yang pekat dengan nuansa religi. Membunyikan musik hura-hura sama saja melecehkan kekhusyukan atmosfer.

***

Iring-iringan mobil komando Habib Rizieq tampak dari kejauhan. Massa berdiri. Merapat. Menyambut kedatangan rombongan utama. Takbir bergema. Ada Novel Bakmumin di atas mobil komando.

Novel memakai sorban putih dan baju gamis. Kemarin dia bikin Nusron naik pitam dengan sebut nama “Nusron Purnomo”.

Dua ruas jalan Merdeka Selatan dipenuhi lautan manusia. Korlap meminta demonstran untuk duduk. Demonstran masih mau mengelu-elukan rombongan Habib Rizieq. Hingga korlap merasa perlu mengumandangkan syair: “Yang mau gantung Ahok ayo duduk”. Dua menit kemudian, massa terkendali.

Dari arah berlawanan, rombongan Pangdam dan Kapolda bergerak. Jemaat mengelu-elukan. Ada teriakan “TNI dan Polri bukan musuh kita. Musuh kita hanya Ahok.”

Habiburokhman dipanggil, diminta merapat ke mobil komando. Saya diajak. Kami berjalan di sela-sela laskar dan demonstran yang duduk. Ada beberapa orang memanggil saya.

Setelah aksi menyampaikan aspirasi berakhir, sholat berjamaah digelar.

Kerapatan Massa mencair. Ratna Sarumpaet datang. Kami bincang-bincang. Sejumlah peserta demonstrasi mulai foto-foto selfie. Dua orang laskar berseragam loreng mirip tentara menghampiri.

Mereka teriak, “Bang Zeng, kami dari Palembang. Langsung ke sini. Kami juga aksi di Palembang sekarang.”

Mereka minta foto buat kenang-kenangan. Saya ucapkan terima kasih dan minta agar aksi terus digencarkan di Palembang. Jangan berhenti sampai Ahok ditangkap. Mereka jawab “Siyap…!!”

***

Saya salut dengan disiplin aksi besar ini. Lautan manusia, geram, diprovok musik sekuler, namun bentrok tidak pecah.

Dahulu, saat saya aktif di gerakan mahasiswa, bila massa mencapai 300 orang saja clash kerap terjadi. Apalagi jumlah massa puluhan sampai ratusan orang dengan kegeraman seperti ini. Namun, sampai aksi usai, kondisi terkendali.

Kedatangan Pangdam dan Kapolda berarti ini aksi serius. Pangdam Jaya adalah Gubernur Militer. Wilayah tugasnya lebih luas daripada gubernur sipil macam Ahok. Yaitu meliputi Ibukota dan Banten.

Saya kira Presiden mesti berpihak pada umat Islam. Penistaan agama tidak boleh dibiarkan di republik ini.

Pihak Bareskrim nyatakan akan memproses Ahok. Pilihan katanya “memproses”, bukan “menangkap”. Ini aksi pertama. Umat koperatif dengan bergerak dalam koridor hukum. Masyarakat mempersilahkan aparat bekerja. Jumat depan bila aparat tidak juga berhasil menaikan kasus ini ke tingkat lebih tinggi, maka aksi massa lebih massif akan mendatangi Kapolri.

Bila tetap juga tidak ada kemajuan, maka istana kemungkinan besar akan didemo. Jadi maximal ada waktu tiga minggu toleransi masyarakat. Saya tidak bisa membayangkan bila pemimpin negara ini bersikeras memanipulasi kasus ini dengan tujuan melindungi seorang Ahok. Harganya tinggi sekali.

Megawati dan PDI-P pasti pusing menghadapi kemelut yang diciptakan Ahok ini. Bukan salah PDI-P bila Megawati memutuskan batal mengusung Ahok. Sekalipun seandainya bila ada duit mahar telah masuk. Keputusan politik harus segera diambil. Jangan biarkan harmoni terganggu gara-gara seorang Ahok.

THE END