Maskot Pilkada Jakarta (Foto/Kpujakarta.go.id)

PILKADA DKI, PERTARUHAN NASIB BANGSA

Oleh  : Ferdinand Hutahaean
Rumah Amanah Rakyat

Pilkada DKI yang sudah memasuki kalender politiknya kian hari kian menguatirkan. Pesta demokrasi yang seharusnya adalah kegembiraan bagi seluruh rakyat, kini kehilangan kegembiraannya bahkan berubah menjadi situasi yang mulai menakutkan. Penuh trik dan intrik saling serang antara pasangan yang akan ditetapkan hari ini yaitu 3 pasang calon yang sepertinya adalah pertarungan pasangan calon 1 pasang melawan 2 pasang. Inilah politik, banyak hal terjadi diluar pengetahuan dan pengamatan publik karena kesepakatan terjadi diruang-ruang yang tidak diketahui publik.

Pilkada DKI ini adalah Pilkada yang sangat menentukan masa depan bangsa. Pertarungan Pilkada ini adalah pertarungan ideologi Pancasila dan pertarungan eksistensi Indonesia yang berkonstitusikan UUD 45 ASLI yang ditetapkan BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 melawan UUD 45 versi tahun 2002 yang dibuat oleh para kaum oligarkhi, kapitalis yang ingin kembali menjajah bangsa ini menggantikan VOC.

Pertarungan pilkada ini juga menjadi pertarungan kaum Pribumi atau kaum Bumiputera melawan kaum timur asing. Meski kita semua adalah warga negara yang sama yaitu Indonesia.

Mengapa Pilkada DKI Jakarta ini saya sebut adalah pertaruhan nasib bangsa? Ini bukan sekedar kata hiperbolik namun sarat dengan fakta dan analisis, baik itu fakta opini maupun fakta lapangan. Ada beberapa indikatornya sehingga kita semua harus waspada menyikapi Pilkada DKI.

Pertama, disharmoni antara kaum mayoritas dan kaum minoritas. Disharmoni yang berbau SARA muncul ketika Ahok dengan arogansi dalam ketidak pahamannya serta tidak amenghormati ajaran agama lain melontarkan kalimat penistaan pada ajaran Islam sementara Ahok sendiri adalah Gubernur dan seorang pemeluk agama Kristen. Sikap Ahok tersebut telah secara syah menyalakan api ditengah Jakarta. Ahok sang Gubernur ternyata tidak menghormati ajaran Islam yang menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Jakarta maupun Indonesia. Umat Islam kini menunggu sikap tegas penegak hukum untuk memeriksa Ahok, dan tentu kesabaran umat Islam sedang diuji saat ini.

Kedua, pernyataan Ahok yang mengibaratkan Pancasila adalah bangunan setengah jadi jika minoritas belum bisa jadi presiden adalah bentuk nyata pelecehan kepada Pancasila dan pelecehan kepada Bung Karno penggali Pancasila. Ahok seolah ingin menyatakan bahwa sebelum dirinya menjadi presiden, maka Pancasila belum selesai. Ini pernyataan menyesatkan dan mengerdilkan nilai-nilai Pancasila. Ahok harus paham bahwa Pancasila bukan sekedar mensejajarkan minoritas dengan mayoritas, tetapi ada nilai besar yaitu Kebijaksanaan, Hikmad dan Musyarawah Mufakat dalam Pancasila. Kebijaksanaan dan Hikmad itulah roh tertinggi demokrasi Pancasila yang diimplementasikan dalam Musyawarah Mufakat bukan pemaksaan kehendak. Kebijaksanaan dan Hikmad itu dibutuhkan agar minoritas seperti Ahok menghormati mayoritas maka toleransi akan terpelihara dengan baik. Namun jika minoritas memaksakan untuk menguasai mayoritas atas nama demokrasi, maka toleransi akan rusak dan dampakya adalah kekacauan dan kericuhan. Itu yang harus dipahami Ahok tentang Pancasila.

Ketiga adalah sikap Presiden yang pstutbdiduga tidak netral dalam Pilkada DKI. Sebagai kepala negara mestinya Presiden berdiri sama dan adil atas semua kelompok dan tidak berpihak secara diam diam apalagi berpihak secara vulgar pada salah satu calon. Ini tentu berbahaya bagi nasib bangsa jika presiden tidak netral dan tidak memayungi semua kelompok secara sama dan sederajat. Dugaan keberpihakan presiden kepada Ahok bukanlah dugaan tanpa dasar.

Semua itu bersumber dari sikap Presiden yang tidak pernah memberikan pernyataan sikapnya sebagai kepala negara atas kondisi Jakarta yang semakin  memanas akibat ulah Ahok. Presiden diam tentang Reklamasi, presiden bisu tentang penistaan agama oleh Ahok, presiden membela Ahok dalam kasus Sumber Waras dan berbagai hal lainnya. Bukankah diamnya presiden itu menjadi dasar analisis keberpihakan presiden kepada Ahok?

Keempat, beredarnya berita di media beberapa waktu lalu tentang Surat Keputusan Kepala Badan Intelijen Negara tentang tim khusus pemenangan Ahok. Apakah Skep tersebut benar atau tidak, tentu tidak ada yang tahu pasti kecuali Kepala BIN Budi Gunawan dan orang-orang yang disebut namanya dalam skep tersebut. Namun mungkinkah ada asap jika tidak api? Mari kita berfikir sendiri tentang pepatah tersebut.

Kelima, beredarnya sebuah slide di Whatsapp group tentang instruksi Kapolri terkait Pilkada. Jika benar slide itu adalah instruksi Kapolri, maka POLRI menjadi institusi ketiga yang tidak netral dalam pilkada DKI setelah lembaga Kepresidenan dan BIN. Namun kembali kepada pepatah diatas, mungkinkah ada asap jika tidak ada api? Satu saat mungkin bisa dengan kemajuan teknologi. Mari kita berandai andai. Andai itu tidak benar, mengapa Kapolri tidak membentuk tim khusus memburu pelaku penyebar slide itu? Saya sendiri berharap itu tidak benar karena POLRI sebagai alat negara harusnya berada disemua pihak secara adil dan memastikan keamanan dan ketertiban terjadi.

Itulah 5 indikator yang saat ini menumbuhkan kekuatiran atas nasib Jakarta dan masa depan bangsa Indonesia. Pertaruhan besar sedang dipertaruhkan dalam pulkada DKI. Hanya untuk seorang Ahok, nasib masa depan Jakarta dan negara dipertaruhkan. Padahal 1 Ahok jika diamankan atau ditangkap oleh penegak hukum atas perbuatannya, maka Jakarta akan kembali sejuk damai tenteram.

Tidak ada harapan lain bagi bangsa ini kecuali kepada TNI. TNI sebagai benteng terakhir penjaga Bangsa jangan sampai ikut-ikutan berpihak. TNI harus lebih mengutamakan nasib bangsa dan negara daripada nasib kekuasaan atau jabatan. Bahkan jika presiden tidak lagi melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan membahayakan nasib masa depan keutuhan bangsa, sesuai Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, wajib hukumnya atas nama Konstitusi, TNI harus turun tangan menyelamatkan bangsa. Harapan terakhir bangsa ini adalah TNI bersama-sama dengan rakyat karena TNI adalah rakyat.

Harapan besar, semoga Pilkada DKI melahirkan dan memenangkan calon yang berbasis pada Pancasila yang benar bukan Pancasila versi Ahok. Semoga pilkada ini berjalan aman, lancar dan seluruh alat kekengkapan negara bersikap netral karena masa depan bangsa sedang dipertaruhkan. Yang cinta keutuhan Republik Indonesia harus mengutamakan nasib bangsa dan memilih calon gubernur yang cinta Indonesia juga. TNI bersama rakyat, rakyat bersama TNI maka bangsa akan kuat.

Jakarta, 24 Oktober 2016