Ferdinand Hutahaean

KOTAK KOTAK YANG MEMBUAT BANGSA TERKOTAK KOTAK

Oleh    Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT

Bercermin pada perilaku elit-elit bangsa ini, terutama drama JOKOWI PRABOWO dengan SBY WIRANTO serta PBNU MUI MUHAMMADYAH dengan FPI FUI dan MASYARAKAT MUSLIM, sepertinya Indonesia akan memasuki sebuah ruang waktu yang penuh badai dan tentu akan mengalami turbulensi atau guncangan hebat. Rakyat harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan yang tidak baik, sembari kita berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bangsa kita yang besar ini diselamatkan dari guncangan, dilindungi dan dibebaskan dari para penguasa yang jahat yang tidak berpihak pada bangsanya.

Apa yang terjadi seminggu terakhir hingga meningkatnya suhu politik di Jakarta dan Indonesia secara umum tidaklah lepas dari sikap para elit bangsa ini. Mereka lupa tentang hukum AKSI dan REAKSI hingga tidak bisa menahan diri untuk bertingkah yang tidak sepatutnya. Jauh dari kata bijaksana, begitulah sikap para elit bangsa kita saat ini.

Langkah Presiden yang mengunjungi PRABOWO dan mengundang PBNU MUI MUHAMMADYAH adalah langkah bagus kurang bijak yang justru membuat bangsa TERKOTAK KOTAK. Pertanyaannya, jika memang tujuan Presiden adalah untuk menyelamatkan kondisi bangsa, mengapa Presiden tidak mengundang semua tokoh bangsa dan semua ormas yang terdata yang memiliki peran dalam aksi 4 Nopember 2016? Inilah sikap tidak bijak dari seorang Presiden yang entah siapa pembisiknya.

Kesan yang muncul kemudian adalah langkah presiden tersebut hanya ingin menunjukkan dan menarik garis antara kawan dan lawan, meski sesungguhnya yang dianggab kawan itu belum tentu berpihak sebagai kawan dan yang dianggab lawan itu belum tentu bersikap sebagai lawan. Namun dari sudut lain, jelas tersirat presiden ingin membangun komunikasi opini dengan publik bahwa PRABOWO, PBNU, MUI dan MUHAMMADYAH ada dikotak presiden, sementara SBY, WIRANTO (yang tidak diajak presiden ke Hambalang), FPI dan PULUHAN ORMAS yang tergabung dalam Gerakan Pembela Fatwa MUI yang menuntut penegakan hukum terhadap Ahok dimasukkan kedalam kotak lawan. Alhasil, bangsa dikotakkan demi sebuah ekspektasi kekuasaan.

Semakin menarik bila kita telisik lebih jauh pola yang dilakukan oleh Jokowi. Mengajak Luhut Panjaitan ke hambalang dan bukan Wiranto, tentu menimbulkan interpretasi berbeda beda dari publik. Wiranto Menkopolhukam dan Luhut Menkomaritim. Mengapa Luhut yang diajak presiden dan bukan Wiranto? Mengapa juga kemarin Luhut yang ditanya wartawan tentang aksi 4 Nopember 2016? Tentu akan memunculkan banyak analisis. LUHUT dan PRABOWO adalah alumni Barret Merah sementara SBY dan WIRANTO adalah alumni Barret Hijau. Adakah ini juga upaya membangun kotak kotak dijajaran TNI? Semoga tidak.

Reaksi akhirnya muncul dari SBY. Setelah banyak tudingan tertutup mauoun terbuka kepada SBY sebagai dalang aksi 4 Nopember 2016, kemarin di Cikeas, SBY berbicara ke publik lewat media. Andaikanpun SBY benar ada dibalik 4 Nopember, justru menurut kami itu sikap yang harus didukung karena keberpihakannya jelas kepada Agama yang dianutnya, tidak abu abu dan tidak pengecut, bahwa SBY BERPIHAK PADA ISLAM. Dalam konperensi pers tersebut, SBY menyampaikan pikiran dan suasana hatinya serta sikap politiknya yang kemudian mendapat tanggapan beragam. Salah satunya ALIFURRAHMAN yang kemudian menulis analisisnya atas sikap SBY. Semua kalimat negatif dituduhkan ALIFURRAHAM kepada SBY, mulai dari kata kekanakan, provokasi dan lain-lain. Sangat disayangkan tulisan tersebut sungguh jauh dari sebuah nalar intelektualitas. Tulisan yang hanya berbasiskan rasa takut dan kebencian pada SBY. Takut karena SBY akhirnya siap turun gelanggang meski baru pernyataan dan belum turun kejalan bersama rakyat, yang kedua basis kebencian kepada SBY yang tidak bisa diucapkan oleh ALIFURRAHMAN dengan kata-kata kasar.

Itulah kondisi realitas bangsa saat ini, penguasa sibuk mempertahankan diri dan memperpanjang kekuasaan, sementara rakyat dan kaum yang berseberangan politik dengan penguasa distigmakan sebagai lawan dan harus dihabisi perlawanannya.

Kotak-kotak itu ternyata membawa ekses negatif dimana kini bangsa terkotak-kotak. Jokowi kotak-kotak, Ahok juga kotak-kotak. Entah kebetulan atau tidak, tapi saat ini bangsa sungguh terkotak-kotak.

Semoga segala keburukan ini segera berakhir dan Indonesia melahirkan pemimpin baru nantinya yang membawa bangsa untuk rakyat dan pemimpin yang melayani bukan dilayani.

03/11/2016