BUKAN MASALAH GELAR PERKARA, TAPI MASALAH KEPERCAYAAN YANG BINASA

Oleh  Ferdinand Hutahaean *)

Penegakan hukum kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memasuki babak baru pasca aksi umat Islam 411. Babak baru yang sama sekali tidak merubah persepsi publik terhadap Presiden dan terhadap Kepolisian.

Presiden tampak menyederhanakan masalah yang sesungguhnya sudah rumit meski rumitnya terjadi karena masalah sederhana. Presiden sepertinya memang tidak ingin memahami sedikitpun tentang kondisi psikologis publik saat ini. Bahwa sesungguhnya penegakan hukum ini bukan masalah gelar perkara terbuka atau tertutup, namun terletak pada binasanya rasa percaya publik kepada Presiden maupun kepada Kepolisian.

Kepercayaan publik bukan saja sekedar hilang kepada presiden dan kepolisian, namun kepercayaan itu sudah binasa, mati. Artinya kepercayaan itu tidak akan mungkin hidup lagi atau ditemukan lagi meski apapun yang dilakukan dan apapun yang diucapakan presiden maupun kepolisian. Kepercayaan yang binasa, mati dan terkubur hingga membusuk. Berbeda dengan andai kepercayaan itu hilang, mungkin masih bisa kembali atau bisa ditemukan. Dan binasanya kepercayaan itulah yang akan menjadi sumber pergerakan publik kedepan untuk bicara revolusi dan evaluasi kepemimpinan nasional.

Kemarin, Bareskrim memanggil beberapa saksi ahli untuk didengar keterangannya dan juga memanggil Ahok untuk diperiksa sebagai terlapor. Apakah pemanggilan itu membawa secercah harapan bagi penegakan hukum yang sama terhadap semua orang dihadapan hukum? Apakah upaya itu memenuhi rasa keadilan masyarakat? Jawabannya terlalu mudah untuk diucapkan yaitu tidak. Apapun yang dilakukan tidak bisa lagi menghidupkan kepercayaan yang binasa.

Publik sudah terlanjur menghakimi bahwa apa yang dilakukan oleh penyidik dan apa yang diucapkan oleh presiden adalah tidak lebih dari sebuah drama cerita yang dilakonkan sebagaimana tertulis dalam skenario cerita. Publik tidak lagi percaya kepada upaya-upaya yang dilakukan.

Publik bahkan sudah menjatuhkan vonis kepada presiden dan kepolisian bahwa Ahok akan dinyatakan belum memenuhi unsur-unsur penistaan agama, sehingga kasus ini belum layak dinaikkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan.

Dengan demikian, Ahok tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka. Hanya, keputusan itu sangat mungkin dibumbui kata-kata retorika bahwa apabila kemudian hari ditemukan bukti atau kesimpulan baru maka tidak menutup kemungkinan kasus tersebut akan diusut kembali. Itulah yang penulis yakini terjadi minggu depan.

Lantas apa yang akan terjadi kemudian? Mengapa kemudian Ahok dinyatakan belum layak dijadikan tersangka? Itulah pertanyaan yang kemudian akan memaksa kita mengernyitkan dahi. Ditambah dengan pertanyaan yang akan membuat detak jantung bertambah cepat adalah apakah MUI salah? Ulama salah? Bukankah MUI sudah nyatakan Ahok menista  agama Islam? Sungguh detak jantung akan tidak beraturan dengan semua itu dan tentu akan memicu aliran darah keotak lebih deras.

Ahok benar dan Ulama harus minta maaf kepada Ahok, mungkin itulah kata-kata dalam meme yang kemudian akan muncul kemudian dari pihak Ahoker dan Jokower. Maka semua bisa menduga-duga apa yang akan terjadi. Kemarahan publik tidak akan terbendung dan gerakan sosial sipil akan menjadi kekuatan terbesar yang akan membentur penguasa yang memberikan ruang rekayasa perlindungan kepada pelaku penista agama dan demi melindungi kekuasaan. Yurisprudensi atas kasus yang sama masih segar diingatan publik diantaranya kasus Arswendo masa orde baru dan seorang wanita di Bali. Tidak cukupkah itu sebagai referensi hukum?

Kepercayaan yang binasa itu tidak mungkin hidup lagi. Tidak ada jalan lain bagi bagi publik selain mencari kepercayaan baru yang hidup dan melupakan kepercayaan yang binasa.  Kepercayaan yang bisa ditemukan dalam jiwa seorang pemimpin yang jujur dan berpihak pada rakyat dan bangsanya. Kepercayaan tidak akan pernah ditemukan dalam jiwa seorang pemimpin penuh kebohongan.

Sekali lagi, ini bukan masalah gelar perkara terbuka atau tertutup, namun masalah matinya kepercayaan publik pada kepemimpinan nasional.

Jakarta, 08 Nopember 2016

*)Pimpinan Komisi Rumah Amanah Rakyat (RAR)